Loading
TRADISI belis sangat lekat dengan masyarakat Indonesia Timur, yaitu Provinsi Nusa Tenggara Timur -NTT- Sebuah provinsi yang terdiri dari beragam suku ini memiliki keunikan dengan kekhasan dalam hal belis.
Belis merupakan suatu tradisi yang relatif umum bagi semua suku di Indonesia, yakni pemberian mas kawin dari pihak calon pengantin pria kepada calon pengantin wanita.
Belis, sebagaimana juga dengan mas kawin, mempunyai ciri khas, Istilah, bentuk serta warna-warninya. Dan di masyarakat suku-suku di NTT memiliki tradisi belis berbeda-beda. Masyarakat Flores Timur, suku Lamaholot, belis berupa gading gajah. Suku Alor menggunakan moko. Suku lain di Flores seperti Sikka-Maumere, Lio Ende, Bajawa dan Manggarai ada yang berupa hewan, emas, gading dan dilengkapi dengan hasil pertanian.
Ulasan kali ini hanya memaparkan tradisi belis suku Sumba yang ada di Pulau Sumba. Sumba yang terkenal sebagai daerah dengan keadaan geografisnya yang terdiri dari pegunungan dan perbukitan memang memiliki tradisi belis yang sangat mahal sebagai simbol harga diri seorang laki-laki dalam mempertaruhkan hidupnya di alam yang keras. Sebagai simbol bagaimana seorang pria bertahan hidup di tengah alam yang keras itu.
Ketika ditanya kenapa belis di Sumba begitu mahal, jawabannya bahwa belis sebagai sarana dan alat dari dari seorang laki-laki dewasa dalam mempertahankan harga diri di tengah alam yang keras itu. Karena alam Sumba yang keras dan hewan yang dianggap sangat penting bagi seorang pria dalam menjalankan kehidupan seperti kuda dan kerbau. Maka belis yang diwariskan sampai hari ini adalah hewan kuda atau kerbau itu.
Selain hewan kerbau atau kuda seorang calon mempelai laki-laki akan memberikan juga belis lain semacam kamataru dan mamuli, seperti simbol lingga dan yom. Kamataru adalah hiasan sebagai simbol alat kelamin laki-laki sedangkan mamuli sebagai simbol alat kelamin wanita atau rahim perempuan yang terbuat dari emas, perak atau tembaga.
Dari pihak perempuan, dia memberikan kain tenun dengan jenis dan motif tertentu. Tatkala strata sosialnya tinggi, atau keturunan raja, maka akan diikuti juga dengan seorang perempuan lain yang disebut sebagai hamba perempuan yang harus ikut menemani calon pengantin perempuan.
Apabila sudah ada kesepakatan, dilanjutkan dengan penyembelihan babi atau kerbau dan separuh dagingnya untuk jamuan makan bersama dan separuhnya yang lain dibawa pulang oleh pihak calon mempelai laki-laki.
Ada tahapan dalam tradisi belis suku Sumba ini. Pertama perkenalan atau negosiasi hingga menemukan kesepakatan berapa ekor hewan kuda atau kerbau yang akan dijadikan belis. Setelah disepakati baru diadakan pemotongan babi atau kerbau sebagai tanda telah terjadi kesepakatan itu.
Jumlah hewan yang diminta biasanya sebanyak 30-50 ekor,bahkan ada juga mencapai ratusan ekor. Banyaknya jumlah hewan tersebut sesuai dengan status keluarga perempuan, dalam arti strata sosialnya. Besar dan kecilnya hewan diukur dari panjangnya taring atau tanduknya.
Besarnya belis ini sebagai tanda pengikat yang sangat kuat ke pihak laki-laki. Sehingga, dalam masyarakat Sumba tidak dikenal dengan istilah kawin cerai. Atau tidak ada perceraian dalam tradisi suku Sumba.