Loading
Oleh: Andreas B. Atawolo, OFM
PADA Teologi Selfie bagian pertama, fenomena selfie coba dilihat dengan cara pandang baru, sekurang-kurangnya tanpa serta-merta mengadilinya sebagai hal yang melulu buruk, tetapi menerimanya sebagai sebuah bentuk transformasi hidup sosial yang lumrah.
Telah dikatakan pula bahwa selfie merupakan fenomena millennial yang justru menegaskan bahwa manusia adalah makhluk sosial. Selfie bukan anti melainkan dukungan bagi kenyataan kodrati manusia sebagai makhluk relasional. Pertimbangan ini sekarang diperkaya:
Manusia makhluk bertubuhYang tampil dalam foto selfie ialah tubuh, tidak penting asli atau polesan. Pengakuan paling konkret atas kehadiran individu ialah dimensi kebertubuhannya. Dalam sejarah Filsafat dan Teologi, tubuh menjadi sebuah tema krusial. Ada aliran ekstrim yang memandang tubuh itu buruk, melulu materi, penjara bagi jiwa. Dualisme ini terlalu sempit, sudah ditinggalkan.
Iman Kristen memberi tempat pada martabat manusia secara utuh: jiwa dan raga. Dalam Credo diungkapkan keyakinan akan hidup kekal bagi manusia dengan jiwa dan raganya. [Kali berikut perlu dibahas ini: Bagi orang Kristen, Tuhan mengungkapkan diri-Nya dalam sejarah manusia secara nyata: Ia hadir sebagai manusia bertubuh bernama Yesus dari Nazaret].
Manusia Makhluk Historis Foto selfie dimaksudkan untuk mengabadikan momen tertentu dan khusus. Ponsel pintar menyediakan kemungkinan kita merekam setiap momen dengan caption singkat dan jelas. Rekaman itu pada saatnya membantu orang untuk mengingat kembali momen istimewa dalam hidup. Artinya tindakan manusia itu konkret, tidak abstrak. Manusia menempatkan diri dalam konteks sosial yang real. Ia tidak teralienasi dari dunia dan sejarah.
Memoria Salah satu kemampuan manusia yang dikagumi St. Agustinus dari Hippo, ialah daya ingatnya. Dalam istilah Agustinus: memoria. Tentu daya memori manusia tidak sehebat rekaman memori digital, yang dapat menyimpan informasi sebanyak-banyak dan seluas-luasnya.
Namun menarik untuk diperhatikan, bahwa manusia tidak hanya mengingat. Lebih dari sekedar mengingat, manusia juga mengenang dan memaknai setiap peristiwa. Dalam Injil Bunda Maria digambarkan sebagai wanita yang mampu “menyimpan dan merenungkan segala perkara dalam hatinya” (Luk 2: 19): Ingat, dia tidak hanya menyimpan tetapi juga merenungkan.
Pantas direnungkan bahwa, meskipun tidak memiliki kapasitas memori sebesar memori digital, manusia mampu memilah informasi. Pelaku selfie dengan mudah memutuskan apakah mau save atau delete sebuah foto. Hal ini menyingkapkan kemampuannya untuk menyeleksi. Secara wajar kita menentukan mana hal yang diingat mana yang tidak. Memori manusia justru terganggu, bahkan sakit, ketika ia hanya menyimpan segala sesuatu tanpa menatanya dengan baik. Pesannya: simpanlah foto dengan caption bermakna dalam memori hati Anda, tertata, tak asal menumpuk agar memorinya tidak hang.
Selumbar versus Balok Kata self mengindikasikan secara jelas bahwa yang melakukan selfie itu terfokus pada dirinya. Ia melihat dan mengatur penampilan dirinya. Ia sedang membangun gambaran diri (self-image) yang lebih baik. Sebab ia tahu bahwa ia hadir dalam dunia sosial. Ia tidak sedang terlempar di hutan rimba atau padang belantara. Selfie tidak identik dengan anti-sosial.
Fenomena selfie secara implisit mengatakan hal penting tentang relasi antara pribadi: bereskan diri sendiri dulu agar relasi dengan sesama berjalan baik. Orang paling problematik dalam komunitas sosial atau dunia kerja (teamwork) ialah dia yang belum selesai dengan diri sendiri.
Selfie menyingkap pentingnya cermin diri sebelum melihat sesama di sekitar kita. Yesus mengajarkan dan mengkritik para pengikut-Nya yang mudah melihat selumbar di mata sesama tetapi lupa melihat balok di matanya sendiri. “Mengapakah engkau melihat selumbar di mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu tidak engkau ketahui”? (Mat 7: 3).
Dengan kata lain, selfie adalah fenomena millennial yang membahasakan secara baru prinsip dasar pembentukan diri manusia – sebuah prinsip paling esensial dalam berbagai metode konseling: Manusia perlu pertama-tama masuk dalam diri sendiri, mengenal dan menerimanya dengan baik, agar interakasi sosialnya dapat dibangun di atas dasar adekuat. (Bersambung).
Penulis, sejak 2016 aktif mengajar di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara.