Disharmoni Sebabkan Problematika Pembinaan Olahraga Indonesia


 Disharmoni Sebabkan Problematika Pembinaan Olahraga Indonesia Disharmoni Sebabkan Problematika Pembinaan Olahraga Indonesia. (RRI)

Oleh:  

Wempie Fauzi (Magister Hubungan Internasional, Universitas Paramadina)

Prasetia Anugrah Pratama (Magister Kebijakan & Manajemen Publik, Monash University Indonesia)

-------------

SECARA kasat mata, dunia olahraga nasional terlihat berjalan normal dengan bergulirnya berbagai kompetisi rutin seperti Liga 1 di sepak bola, Indonesia Basketball League (IBL) di bola basket, serta Proliga di voli. Di luar itu, juga terdapat turnamen-turnamen daerah maupun internasional yang rutin diadakan di tanah air.

Namun, jika ditelisik lebih dalam, terdapat permasalahan struktural yang serius di balik gemerlapnya kompetisi tersebut. Persoalan ini bermula dari lemahnya tata kelola dan ketidakharmonisan antar lembaga olahraga di Indonesia.

Ketidakberhasilan Indonesia menjadi tuan rumah Olimpiade menjadi contoh nyata dari lemahnya tata kelola olahraga nasional. Pemerintah Indonesia melalui Komite Olimpiade Indonesia (KOI) pernah menyatakan niatnya untuk mengajukan diri sebagai tuan rumah Olimpiade 2032, dengan harapan besar untuk menjadikan momen tersebut sebagai puncak dari transformasi olahraga nasional.

Namun, rencana itu kandas ketika Komite Olimpiade Internasional (IOC) memutuskan Brisbane, Australia sebagai tuan rumah. Kegagalan ini bukan semata-mata karena faktor eksternal, namun justru mencerminkan ketidaksiapan internal Indonesia dalam menyatukan visi dan kemampuan kelembagaan olahraga nasional.

Salah satu alasan mendasar kegagalan ini adalah tidak adanya keselarasan antara lembaga-lembaga kunci seperti KONI, KOI, Kementerian Pemuda dan Olahraga, serta pemerintah daerah. Dalam banyak kesempatan, lembaga-lembaga ini cenderung bekerja sendiri-sendiri, saling tumpang tindih, dan mempertahankan ego masing-masing. Hal ini menyebabkan tidak terciptanya satu narasi besar atau grand strategy yang menjamin IOC bahwa Indonesia mampu menyelenggarakan ajang olahraga terbesar di dunia secara profesional dan berkelanjutan.

Situasi ini diperparah oleh kecenderungan politisasi dalam pelaksanaan ajang-ajang olahraga nasional seperti Pekan Olahraga Nasional (PON). Alih-alih sarana menjadi pelatihan atlet jangka panjang, PON sering dimanfaatkan sebagai panggung politik daerah. Akibatnya, pelatihan olahraga tidak lagi berorientasi pada pencapaian prestasi, tetapi lebih kepada pencitraan dan perebutan anggaran. Tidak mengherankan jika sistem pelatihan atlet dari usia dini hingga senior tidak berjalan secara konsisten, dan banyak atlet muda berbakat yang gagal berkembang karena minimnya pelatihan lanjutan.

Kondisi ini berdampak langsung pada stagnasi kompetisi profesional di Indonesia. Ketika kompetisi tidak berkualitas dan tidak memberikan jaminan jangka panjang bagi atlet, maka akan sulit bagi Indonesia untuk mencetak prestasi di level dunia. Ketiadaan ekosistem olahraga yang sehat ini pada akhirnya juga menjadi indikator kuat bahwa Indonesia belum layak menjadi tuan rumah Olimpiade.

Dengan demikian, kegagalan Indonesia menjadi tuan rumah Olimpiade bukan sekadar kalah bersaing dengan negara lain dalam aspek teknis atau infrastruktur, tetapi lebih dalam lagi, menunjukkan bahwa reformasi struktural dalam tata kelola olahraga nasional belum dilakukan secara serius. Tanpa perbaikan menyeluruh yang menempatkan atlet sebagai aktor utama dan menghapus dominasi kepentingan politik dalam olahraga, mimpi Indonesia menjadi tuan rumah Olimpiade dan meraih prestasi global hanya akan tinggal wacana.

Editor : Lintang Rowe

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

Suara Kita Terbaru