Loading
Oleh:
Prasetia Anugrah Pratama - Alumni Master of Public Policy & Management (MPPM), Monash University Indonesia
Rama Daru Jati - Analis Media, Kurasi Media Nusantara
------------------------------------------------------------
MENJADI dokter adalah panggilan mulia yang menuntut dedikasi tinggi, tetapi di balik gelar yang prestisius dan tanggung jawab besar, terdapat realitas pahit yang sering kali luput dari perhatian publik. Dokter muda, yang seharusnya berada dalam lingkungan pembelajaran yang mendukung, justru kerap menghadapi eksploitasi sistemik dalam bentuk jam kerja berlebihan, tekanan mental ekstrem, dan budaya senioritas yang merugikan.
Kondisi ini tidak hanya berdampak pada kesejahteraan mereka, tetapi juga berpotensi membahayakan keselamatan pasien akibat kelelahan dan burnout. Tulisan ini hadir untuk membuka mata para dokter muda dan semua pihak yang peduli terhadap masa depan profesi medis, dengan harapan agar sistem pendidikan kedokteran di Indonesia dapat lebih manusiawi dan berorientasi pada hak asasi manusia, sehingga akan membuahkan hasil yang baik berupa peningkatan pelayanan kesehatan di tanah air.
Pendidikan kedokteran sering kali dianggap sebagai salah satu jalur akademik paling prestisius di dunia, termasuk di Indonesia. Namun di balik hingar-bingar dan citra mulia dari jalur tersebut, terdapat realitas pahit yang dialami oleh para dokter muda. Pada akhirnya, rumah sakit menjadi rumah bagi para pegawai yang di mata publik bekerja layaknya pegawai Karen's Dinner (meminjam istilah dari Komuka Abdur Arsyad).
Sistem pendidikan yang seharusnya membentuk tenaga medis yang kompeten justru cenderung mengeksploitasi dokter muda melalui jam kerja berlebihan, tekanan mental yang ekstrem, serta praktik lancung senioritas yang tidak manusiawi. Bahkan tidak jarang dokter muda tidak mendapat waktu untuk memenuhi kebutuhan pribadinya untuk sekedar makan ketika seniornya tidak puas dengan hasil kerja mereka.
Jika ditelaah dari perspektif Hak Asasi Manusia (HAM), praktik ini tidak hanya melanggar prinsip-prinsip dasar hak pekerja, tetapi juga berpotensi membahayakan keselamatan pasien yang sudah sepatutnya menjadi prioritas bagi profesi tersebut, sesuai dengan kode etik yang berlaku.
Senioritas dalam pendidikan kedokteran sering kali digunakan sebagai justifikasi untuk memberikan beban kerja yang tidak wajar kepada dokter muda. Mereka harus bekerja lebih dari 24 jam dalam satu shift, dengan upah yang tidak sebanding (bahkan tidak dibayar ketika menjalani pendidikan) dan tekanan mental yang tinggi. Dalam kondisi tersebut, wajar rasanya jika banyak dokter muda yang mengalami kelelahan ekstrem, burnout, depresi, bahkan hingga bunuh diri seperti kasus yang dialami oleh dokter PPDS di Undip pertengahan tahun lalu (CNN Indonesia, 2024). Hal ini tentu bertentangan dengan prinsip-prinsip HAM, khususnya hak atas kondisi kerja yang adil dan menguntungkan sebagaimana tercantum dalam Pasal 23 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) serta Konvensi Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) tentang jam kerja yang manusiawi.
Secara nasional, mengutip tulisan dari dr Retma Nurkayanti di website Alomedika:
"Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan No.81 Tahun 2024, telah ditetapkan sebuah pedoman penyusunan perencanaan sumber daya manusia kesehatan di tingkat propinsi, kabupaten/kota, dan rumah sakit. Waktu kerja yang tersedia diperoleh dari jumlah hari kerja selama setahun dikurangi dengan hak cuti tahunan (12 hari), pendidikan dan pelatihan (6 hari), hari libur nasional, ketidakhadiran kerja, dikali dengan waktu kerja perhari."
Meski pun tidak dinyatakan dengan tegas jumlah maksimum jam kerja yang telah ditetapkan, dapat diketahui bahwa rata-rata jam kerja yang diperkenankan adalah 8 jam sehari selama 5 hari kerja perminggu, Jumlah jam kerja dapat berubah sesuai dengan kebutuhan masing-masing instansi atau unit.
Tren penindasan menjadi sesuatu yang terus diperparah karena turut menciptakan lingkaran setan di mana dokter senior yang dahulu mengalami eksploitasi serupa akhirnya meneruskan praktik lancung ini kepada generasi berikutnya.
Senioritas yang seharusnya berfungsi sebagai bimbingan dan pendampingan malah menjadi alat dominasi yang menekan dokter muda sering kali dalam bentuk perundungan atau tindakan tidak etis lainnya seperti yang terjadi pada kasus mendiang dr Aulia Risma Lestari. Dalam konteks HAM, kondisi tersebut mencerminkan pelanggaran terhadap hak individu untuk diperlakukan dengan hormat dan bebas dari perlakuan kejam atau merendahkan martabat manusia.
Selain memberikan dampak buruk pada kesejahteraan dokter muda, eksploitasi ini juga memiliki spillover effect terhadap pasien yang berisiko menjadi terabaikan keselamatannya. Beberapa studi telah menunjukkan bahwa kelelahan ekstrem dapat mengurangi kemungkinan terjadinya kesalahan medis. Artinya, ketika seorang dokter yang kelelahan karena kurang istirahat harus menangani pasien dalam kondisi kritis, peluang terjadinya malpraktik meningkat secara signifikan. Dengan demikian, eksploitasi dokter muda tidak hanya melanggar hak mereka sebagai pekerja, tetapi juga berpotensi melanggar hak pasiem atas pelayanan kesehatan yang aman dan berkualitas.
Reformasi Sistem Pendidikan
Dengan latar belakang kebijakan publik dan manajemen dan pembekalan melalui mata kuliah kebijakan kesehatan (health policy) di Monash University Indonesia, penulis meyakini bahwa dalam mengatasi permasalahan tersebut, diperlukan reformasi sistem pendidikan kedokteran yang lebih berorientasi pada HAM. Pemerintah dapat mengambil langkah-langkah efektif demi terciptanya sistem pendidikan kedokteran yang lebih mensejahterakan dan manusiawi.
Pertama, pembatasan jam kerja yang ketat di mana pemerintah melalui Kementerian Kesehatan, menerapkan regulasi yang membatasi jam kerja dokter muda agar sesuai dengan standar internasional, seperti yang diterapkan di negara-negara maju.
Kedua, pemerintah dan institusi pendidikan perlu menggalakkan upaya penghapusan budaya senioritas yang merugikan melalui sistem mentoring yang berbasis pada dukungan profesional, bukan dominasi dan penindasan. Ketiga, upaya peningkatan kesejahteraan dokter muda melalui pemberian kompensasi yang layak dan akses terhadap layanan kesehatan mental untuk mengurangi risiko burnout dan depresi.
Perlu diperhatikan bahwa berdasarkan hasil riset pada Maret 2024, tingkat stres dokter di Indonesia terbilang tinggi. Sebanyak 2.716 calon dokter spesialis di Indonesia mengalami gejala depresi dari tingkat rendah hingga berat. Karena itu reformasi berikutnya, Ikatan Dokter Indonesia dan lembaga pendidikan kedokteran perlu membangun mekanisme pengaduan yang efektif melalui penyediaan jalur pelaporan yang aman bagi dokter muda untuk melaporkan kasus eksploitasi atau perlakuan tidak manusiawi yang mereka alami, tanpa takut akan pembalasan dari pihak–pihak yang merasa kekuasaan semu mereka terganggu.
Jaminan perlindungan untuk pelapor perlu ditegakkan menimbang kentalnya budaya premanisme di berbagai lembaga dan perusahaan Indonesia, baik negeri maupun swasta. Meskipun mekanisme pengaduan telah difasilitasi dengan baik, tanpa adanya perlindungan, dokter muda yang sering kali menjadi korban sangat rentan terkena ancaman para dokter senior yang menindas.
Ancaman pun bisa dari berbagai tingkatan mulai dari ancaman karier seperti diberhentikan dari rumah sakit tempat ia bekerja, pelaporan balik sehingga menjadi pertarungan laporan antara pelaku dan korban, hingga pembunuhan. Kebijakan untuk menjamin keselamatan serta keamanan dokter dalam memperjuangkan hak mereka dalam bekerja akan meningkatkan kepercayaan diri untuk melawan penindasan, paksaan, hingga pelecehan di tempat mereka bekerja.
Perlu dipahami bahwa berdasarkan Konvensi ILO tentang Jam Kerja dan Konvensi ILO No.30 tentang Jam Kerja di Perdagangan dan Kantor (1930), mengatur bahwa jam kerja tidak boleh melebihi batas wajar yang ditetapkan untuk melindungi kesejahteraan pekerja. ILO menekankan pentingnya pembatasan jam kerja guna mengurangi risiko kelelahan dan kesalahan medis.
Konvensi ILO No.30 tentang Penetapan Upah Minimum (1970), menegaskan bahwa semua pekerja, termasuk dokter, berhak mendapatkan kompensasi yang layak sesuai dengan beban kerja dan tanggung jawab mereka. Dokter muda sering kali mengalami eksploitasi dalam bentuk jam kerja panjang tanpa kompensasi yang sesuai, yang bertentangan dengan prinsip tersebut.
Audit keuangan yang ketat serta sanksi untuk rumah sakit yang tidak memenuhi hak para dokter, khususnya dokter muda, perlu ditegakkan. Pendekatan reward and punishment tentu akan mendorong rumah sakit untuk mengikuti aturan yang berlaku. Diperlukan sebuah konsekuensi yang cukup untuk menekan rumah sakit agar mereka dapat memenuhi hak-hak para dokter muda baik dari segi kompensasi maupun jam kerja.
Secara hukum, hak–hak dokter telah dijamin oleh Konvensi ILO tepatnya dokumen berjudul RO69 - Medical Care Recommendation, 1994 (No.69), mulai dari hak atas kebebasan berserikat dan berunding, hingga hak atas perlindungan dari diskriminasi dan pelecehan.
Dalam konteks pendidikan kedokteran, ini mencakup perlindungan dari senioritas berlebihan yang mengarah pada pelecehan atau perundungan terhadap dokter muda. Dokter juga berhak atas akses terhadap layanan kesehatan mental dan dukungan psikologis guna mencegah burnout. Sebab, jika seorang dokter dipaksa bekerja dalam kondisi yang membahayakan tanpa pilihan atau perlindungan hukum, hal itu bisa dikategorikan sebagai bentuk kerja paksa.
Dari keseluruhan pembahasan tersebut, pemerintah, lembaga pendidikan yang menaungi fakultas kedokteran, hingga publik secara umum diharapkan dapat memahami bahwa dokter memiliki hak-hak fundamental di tempat kerja yang dijamin oleh standar ILO.
Kita perlu membuka mata bahwa dalam praktiknya, banyak dokter muda yang masih mengalami pelanggaran terhadap hak-hak dasar ini, terutama dalam sistem pendidikan kedokteran yang menormalisasi senioritas dan jam kerja berlebihan. Oleh karena itu, Indonesia mutlak memerlukan adanya reformasi dalam sistem kerja tenaga medis agar sesuai dengan standar HAM dan ketentuan internasional yang telah ditetapkan oleh ILO.
Tulisan ini disusun untuk para-Dokter Muda dan pembelajar lainnya di dunia kedokteran, tetap berjuang dan lawan kesewenang-wenangan. Salam Perjuangan!