Loading
DR Salman Habeahan. (Istimewa)
Oleh: Dr. Salman Habeahan
NASIONALISME Indonesia terjerembab jatuh ke liang kubur, terpenjara dalam jeruji-jeruji kesepiaan, dan perlahan-lahan tenggelam dibajak kaum radikal. Arus globalisasi yang terus berhembus kuat menantang kita untuk merevitalisasi nila-nilai kebangsaan. Kita hidup dalam heterogenitas etnis, greografis, budaya dan agama. Hanya dengan menjadi nasionalis sejati Indonesia akan hidup dan berkembang. Dalam situasi menjadi nasinoalis sejati berarti menjadi Pancasilais.
Fenomena menunjukan nasionalisme Indonesia kita mengalami kesakitan, terpapar, tampak dari sikap tanpa terkecuali generasi muda yang semakin jauh dari sikap saling menghargai kebinekaan suku, bahasa, budaya dan agama. Perbedaan dianggap menjadi musuh. Radikalisme di kalangan generasi muda bertumbuh cukup subur, semakin menjauh dari semangat kebangsaan.
Hasil survei terbaru Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menunjukkan pengaruh intoleransi dan radikalisme menjalar ke banyak sekolah dan universitas di Indonesia. Menurut survei ini, terdapat 51,1 persen responden mahasiswa/siswa beragama Islam yang memiliki opini intoleran terhadap aliran Islam minoritas, yang dipersepsikan berbeda dari mayoritas, seperti Ahmadiyah dan Syiah. Selain itu, 34,3 persen responden yang sama tercatat memiliki opini intoleransi kepada kelompok agama lain selain Islam.
Saiful Umam, Direktur Eksekutif PPIM UIN Jakarta, menjelaskan survei lembaganya menyimpulkan pengaruh intoleransi dan radikalisme di kalangan generasi Z Indonesia, yakni mereka yang lahir setelah 1995, dapat dikatakan dalam kondisi seperti “api dalam sekam”. “Survei ini menganggap bahwa kondisi keberagamaan siswa dan mahasiswa mempunyai potensi yang harus diwaspadai. (8/11/2017).
Ironisnya hasil survei terbaru menunjukan sebanyak 57 persen guru memiliki opini intoleran terhadap agama lain serta 46 persen guru memiliki opini radikal. Guru punya posisi strategis sebagai pelukis masa depan bangsa, dan punya peran penting dalam pembentukan nilai-nilai kebangsaan, pandangan, serta pemikiran siswa, ternyata menggerogoti nilai-nilai nasionalisme dalam diri siswa, (tempo.co. Sept, 2018).
Fenomena di atas menunjukkan bahwa pendidikan di sekolah tidak mampu diandalkan sebagai medium untuk mewariskan citra-bersama sebagai satu negara bangsa. Karena pendidikan agama masih berbau radikalisme, dan pendidikan kewarganegaraan (civic education) yang diwujudkan melalui mata pelajaran PPKn di sekolah dasar dan menengah atau mata kuliah kewarganegaraan dan mata kuliah Pancasila di Perguruan Tinggi, hanyalah formalitas yang tidak terlalu berbeda jauh dengan penataran P4 masa Orde Baru.
Baca juga:
Paskah dan Pemimpin yang PancasilaisDalam proses pendidikan kewarganegaraan belum berhasil menginternalisasikan dalam diri anak nilai-nilai kebangsaan Sumpah Pemuda dan Pancasila, tidak dibentuk untuk menjadi good citizen yang memiliki kesadaran yang matang tentang hak dan kewajiban politik sebagai warga negara dan memiliki roh nasionalisme yang kukuh. Anak didik hanya dipaksa, untuk menghafal sila-sila Pancasila tanpa dididik untuk menghayati hakekat dari Pancasila sebagai roh, jiwa sekaligus pandangan hidup bangsa Indonesia.
Nasionalisme Sejati
Hingar-bingar suara politik kaum elit khususnya menyambut tahun politik 2019 membuat para elit politik tidak mampu lagi saling mendengarkan, dan bahkan untuk mendengarkan suaranya sendiri pun sulit. Kecongkakan para politisi yang haus kekuasaan seakan mau memonopoli kebenaran, hak menata Negara melahirkan apatisme bagi rakyat yang seharusnya berdaulat dalam setiap pesta demokrasi (pemilu). Egoisme kelompok, partai, golongan telah mencampakkan kebhinekaan, kebersamaan dan kemanusiaan kita ke bilik sosial di tengah masyarakat yang terpinggirkan. Nasionalisme Indonesia terjerembab jatuh ke liang kubur sejarah, setidaknya terpenjara dirampok oleh pelaku-pelaku elit politik yang haus memburu kekuasaan dan defisit nasionalisme.
Virus sosial yang merusak semangat nasionalisme yang amat berbahaya adalah kehendak untuk saling menyalahkan, saling menghujat, dan saling memusuhi. Ironisnya energi negatif ditebarkan justru atas nama agama, moralitas, kejujuran, kebenaran dan keadilan. Jika kondisi saling menghujat, mencaci, energy kolektif kita sebagai bangsa akan tergerus dan rasa nasionalisme akan terus terkikis dalam diri generasi muda.
Sang Proklamator bangsa Indonesia, Soekarno, menegaskan nation-state Indonesia lahir sebagai hasil dari kombinasi kesamaan riwayat dan kesamaan kehendak untuk bersatu. Nasionalisme Indonesia itulah terpatri dalm goresan momentum Boedi Utomo (1908), Sumpah Pemuda (1928) dan Proklamasi Kemerdekaan RI. Nasionalisme Bung Karno lahir dari pemberontakannya terhadap kolonialisme atau imperialism. Nasionalisme Bung Karno adalah kesetiaan dan komitmennya terhadap Tanah Airnya. Dan tanda kesetiaan itu ia bersedia dibuang ke pelosok pelosok terpencil walaupun Bun Karno tidak pernah merasa terbuang karena ia merasa tetap tinggal dan berada di tanah airnya sendiri.
Ketika bangsa kita sedang bergejolak dengan isu-isu yang mengancam keberadaan nasionalisme kebangsaan kita, peringatan hari Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 mengajak kita untuk berkaca diri pada cermin bernama nasionalisme Indonesia? Seluruh elemen bangsa diajak agar mau dan mampu menginternalisasikan nilai-nilai keindonesian menjadi sistem nilai (values system) yang dapat membangun kohesivitas antar suku, budaya dan agama yang berbeda; bhinneka namun ika; satu bangsa, bahasa dan satu tanah air Indonesia. Perasaan sebangsa bukan karena kita terikat oleh kesamaan suku, agama atau golongan.
“Bangsa itu adalah satu nyawa”, kata Bung Karno dalam bukunya; Di Bawah Bendera Revolusi. Bung Karno menegaskan, seorang nasionalis sejati adalah seorang yang selalu mencintai persatuan dan kesatuan sebagai bangsa. Nasionaisme sejati tidak pernah bersikap chauvamis, arogansi untuk merebut kekuasaan, apalagi saling menegasikan antar sesama anak bangsa dengan cara-cara hoax dan ujaran kebencian. Kecintaan Bung Karno pada persatuan dan kesatuan bangsa menunjukkan seorang nasionalis sejati yang seharusnya menjadi contoh bagi kaum elit politik yang gagal mentransformasi nilai-nilai perjuangan kebangsaan sebagai warisan the founding fathers, agar mereka tidak terpenjara dalam arogansi kelompok, prilaku elit yang kental diwarnai oleh virus primordialisme radikalisme, sektarianisme dan feodalisme.
Nasionalisme sejati dapat ditemukan dalam sosok (pemikiran dan character) The Founding Fathers, generasinya Soekarno – Hatta, generasi yang sangat cerdas, santun, idealis dan konsisten. Mereka datang dari berbagai aliran politik, tetapi mampu mengantar bangsanya menuju pintu gerbang kemerdekaan. Mereka berbeda pendapat tetapi tidak berseteru; berseberangan ideologi, tetapi tetap santun memperjuangkan keyakinan ideologinya. Dan ketika harus berdebat, berdiskusi, berbeda pendapat dan pilihan politik tetapi jika menyangkut eksisntensi bangsa mereka mengesampingkan kepentingan golongan dan kelompoknya. Mereka punya peluang untuk kaya, tetapi tidak menggunakan kekuasaan untuk memperkaya diri, keluarga atau kelompoknya. The Founding Fathers menyediakan dirinya untuk mengabdi bagi rakyat, bangsa dan Negara. Itulah sosok pemimpin nasionalis yang dapat menjadi teladan yang dikenang oleh rakyat walau telah lama wafat.
Generasi muda diharapkan mampu menegaskan dirinya sebagai kekuatan moral bangsa untuk menggelorakan nyala api Sumpah Pemuda yang keluar dari jiawa dan semangat idealisme yang murni ingin membangun bangsa Indonesia menjadi bangsa terhormat dan disegani di dunia. Dan para pemuda harus terus menyuarakan agar pelaksanaan pemerintahan berjalan secara jujur dan adil seperti apa yang dianjikan kepada rakyat, serta proses politik dalam rangka Pemilu Presiden, DPR dan DPD/DPRD berjalan secara demokratis, adil dan berkeadaban. Kita membutuhkan pemimpin bangsa yang bebas dari beban rezim-rezim kekuasaan di masa lalu, masa depan negeri ini dipertaruhkan.
Pancasila & Prinsip Bhinneka Tunggal Ika
Indonesia adalah bangsa yang majemuk karena dilahirkan untuk semua. Dan sejatinya Indonesia anti diskriminasi anti disparitas antar pulau dan anti ketimpangan sosial. Pancasila dikagumi karena prinsip “bhinneka tunggal ika” menjadi seperti melting pot yang menjamin seluruh elemen yang beragam ini bisa ada bersama sebagai satu mozaik bernama “Indonesia”. Namun disayangkan bahwa kenyataan multikulturalisme justru menyimpan bom waktu yang terbuka untuk kapanpun bisa meledak.
Keragaman menjadi masalah disebabkan karena mekanisme pengelolaan negara selama Orde Baru sampai Orde Reformasi yang tidak konsisten menegakkan asas kesetaraan dan keadilan, di samping alasan krisis “citra kolektif” yang disampaikan di atas tadi. Di satu sisi, ada kelompok yang diistimewakan, di sisi lain ada yang dijadikan tumbal pembangunan; pencitraan yang menyebabkan kesatuan tidak terbangun dengan kuat. Hasilnya adalah kecurigaan antarkelompok meningkat dan ketidakadilan sosial tercipta yang dalam banyak hal menjadi trigger berbagai konflik sosial-politik.
Padahal paradigma dasar yang menjadi acuan dalam membangun negara-bangsa meski diletakkan pada pemahaman bahwa Indonesia adalah masyarakat multikultural yang terdiri dari berbagai kultur politik (lokal). Dengan demikian, politik demokrasi Indonesia atau bisa disebut juga “politik Pancasila” adalah politik multikultural. Will Kymlicka dalam bukunya Multicultural Citizenship: a Liberal Theory of Minority, menegaskan bahwa politik multikulturalisme adalah kebijakan politik dalam mengelola perbedaan untuk membangun kesetaraan dan keadilan sosial antara kelompok mayoritas dan minoritas dalam suatu masyarakat (Will Kymlica, 1995)..
Di dalamnya, keadilan dan hak-hak minoritas merupakan isu sentral yang menjadi tanggungjawab negara demokrasi untuk mewujudkannya. Dalam menguraikan konsepnya mengenai politik multikulturalisme, Kymlicka berdiri di antara dua kelompok ekstrim dalam wacana multikulturalisme. Kelompok pertama adalah mereka yang menuduh multikulturalisme hanya akan menjadikan kelompok minoritas terkotak-kotak dan mengganggu integrasi mereka di tengah kemajemukan. Sedangkan kelompok kedua adalah mereka yang fanatik terhadap multikulturalisme dengan berpandangan bahwa kepedulian terhadap integrasi masyarakat dalam suatu budaya merupakan cerminan dari imperialisme budaya sebagaimana gagasan Klimcall (1957) tentang “masyarakat plural”.
Maka di sini yang diperlukan adalah bagaimana menjadikan Pancasila sebagai suatu “milik bersama” atau yang dalam istilah Chantal Mouffe disebut sebagai “common space”, tempat di mana setiap kelompok yang berbeda memiliki satu kepentingan yang sama (Chantal Mouffe, 2005). Common Space inilah yang memungkinkan setiap elemen masyarakat merasa kepentingannya terakomodasi.Lebih jauh dikatakan: “Kita yakin bahwa Pancasila merupakan sarana fundamental guna mencapai persatuan dan kesatuan bangsa.
Bangsa Indonesia yang majemuk itu dapat merupakan satu bangsa, apabila mendasarkan diri di atas satu keyakinan dasar yang menjamin bagi segenap anggota masyarakat kedudukan yang sama sesuai dengan martabat mereka sebagai manusia. Keyakinan dasar itu adalah Pancasila. Melalui Pancasila, bangsa Indonesia telah menyatakan tekadnya bahwa di dalam tubuhnya tidak ada golongan kelas satu dan kelas dua, tidak ada mayoritas atau minoritas, bahwa semua orang dapat hidup menurut identitas dan cita-cita luhur masing-masing. Pancasila menetapkan bahwa golongan kecil dijamin haknya untuk beribadat dan hidup menurut agama dan kepercayaan sama seperti golongan besar.
Dengan demikian terjamin bahwa segenap anggota masyarakat, semua kelompok dan golongan etnis, budaya dan agama, dapat krasan di dalam satu “rumah” negara Indonesia. Onghokham dan Andi Achidian, dalam Simposium di UI pernah mengatakan, “Sebagai kata akhir, kami ingin menegaskan bahwa Pancasila adalah asas-asas persetujuan mendirikan negara baru, yang dapat disamakan dengan dokumen-dokumen penting negara-negara lain seperti Magna Carta di Inggris dan Droit de l’homme seperti dalam pengalaman revolusi Perancis. Bila prinsip-prinsip yang terkandung dalam kontrak sosial itu dilanggar, maka hakikatnya terjadi pembubaran negara. Begitu pula sebenarnya dengan perubahan-perubahan terhadap Pancasila mensyaratkan pembubaran negara lebih dahulu”(Restorasi Pancasila, 2006: 111).
Karena nasionalisme Indonesia adalah nasionalisme politik atau nasionalisme kewarganegaraan (civic nationalism), maka politik pembangunan bangsa yang utama, yang akan menciptakan rasa persatuan dan membentuk identitas adalah: pertama pemenuhan dan perlindungan atas status masing-masing sebagai warga negara; kedua, pemenuhan dan perlindungan akan hak-hak asasinya sebagai manusia; ketiga, pengembangan rasa nasionalisme harus disertai pula dengan sosialisasi dari nasionalisme, melalui pendidikan, pengembangan kesadaran historis dan ingatan kolektif. Hanya melalui pemenuhan hak-hak asasi dan hak-hak kewarganegaraan orang akan merasakan relevansinya menjadi warga bangsa. Pemaksaan ideologis dan pemaksaan melalui kekerasan tidak akan menumbuhkan nasionalisme Indonesia.
Pancasila merupakan bukti nyata toleransi semua golongan bangsa Indonesia, yang satu terhadap yang lain. Kehadiran dan keutuhan semua golongan dijamin oleh “Pancasila”. Karena Pancasila merupakan konsensus politik bangsa Indonesia sebagai asas mendirikan negara Indonesia, maka mengganti Pancasila berarti membubarkan negara Indonesia. Bhinneka Tunggal Ika dan nilai-nilai persatuan yang merupakan semangat Sumpah Pemuda dapat terjamin dalam Pancasila sebagai ideologi dan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia.
Penulis adalah pengawas pendidikan Agama dan Pengajar pada Program Pascasarjana Universitas Budi Luhur Jakarta.