Loading
Ilustrasi: Sosial media digunakan warganet dalam berekspresi. (Net)
Oleh: M Sunyoto
BERLOMBA-lombalah menuju kebaikan, demikianlah salah satu pernyataan profetik yang bisa dipastikan akan diamini baik oleh kaum pemeluk agama, maupun kaum ateis yang berpegang teguh pada nilai-nilai kebaikan.
Kebaikan tentu dimulai dari dunia metafisik. Pada mulanya adalah ide. Sebelum seseorang menolong dalam bentuk tindakan, dia mengawalinya dengan ucapan. Sebelum berucap, dia tentu berpikir.
Baca juga:
Virus PHKNah, semua tingkatan itu tentu punya nilai kebaikan, meskipun nilai terbesar adalah di ranah tindakan. Tak perlulah merendahkan nilai kebaikan yang berupa gagasan atau sekadar kata-kata. Idealnya memang ide, ucapan itu diejawantakan dalam bentuk tindakan.
Saat ini di media sosial, kebaikan dan keburukan yang diekspresikan warganet tentu berada di level verbal, kata-kata, alias ujaran. Setiap saat seseorang bisa mengunggah apa yang dipikirkan, direkam untuk mengabarkan sesuatu.
Baca juga:
Politik Identitas Tak Punya Masa DepanPerlu ditegaskan bahwa dalam ilmu kebahasaan, orang yang berkata-kata baik lisan maupun tulisan bisa juga dimaknai melakukan tindakan, yakni tindak tutur. Orang yang memaki dan menyanjung akan melahirkan efek sakit hati atau suka cita pada pihak yang menjadi sasaran ujaran.
Itu sebabnya, berlomba-lomba menuju kebaikan lewat tindak tutur sesungguhnya bisa pula dimaknai sebagai lomba dalam tataran aksi menuju kebaikan.
Baca juga:
Membajak DemokrasiPerang kata-kata di media sosial menjelang pemilihan presiden tahun depan melahirkan ujaran sumpah-serapah dan saling memaki. Namun, di antara pertikaian yang memanaskan hati itu, ada juga orang-orang yang berkepala dingin dan lapang hati. Mereka ini bukannya ikut mengompori pertikaian antarkubu pendukung calon presiden idaman. Yang dilakukan oleh orang-orang ini adalah memberikan wejangan etis.
Wejangan, khotbah, nasihat etis yang disampaikan di tengah dua kubu yang bertarung saling melancarkan ejekan tentu terasa sok suci, aneh dan janggal. Namun, tak semua wejangan itu disampaikan dalam format kata-kata yang serius, sering juga dirumuskan dalam bentuk ikon yang kocak, melucu.
Wejangan dalam bentuk parodi juga sering digunakan untuk meredakan ketegangan dua kubu yang bersitegang mempertahankan ideologi politik masing-masing.
Tema unggahan di Facebook, maupun Twitter mutakhir adalah tentang usul debat capres yang disampaikan dalam bahasa Inggris. Tentu ide ini disampaikan oleh kubu yang capresnya punya pengalaman belajar cukup lama di luar negeri yang bahasa sehari-harinya adalah Inggris.
Ada bias tentunya dengan usul itu. Bias itu bisa berupa hasrat untuk menyudutkan alias mempermalukan capres yang selama hidupnya tak pernah tinggal di luar negeri. Kontan saja, ide yang dianggap hendak mempermalukan capres pesaingnya itu dibalas oleh ide-ide yang sama sekali tak baik untuk kemajuan berdemokrasi di negara multietnis dan agama, yakni lomba baca kitab suci Quran.
Di tengah kontroversi inilah, ada tanggapan unggahan di medsos yang intinya mengingatkan kedua belah pihak bahwa usul-usul yang aneh-aneh, yang tak sesuai dengan ketentuan undang-undang pemilihan umum itu, tak perlu dilanjutkan.
Ujaran etis lain pun muncul. Misalnya, wejangan yang berbunyi: usaha memamerkan diri sanggup berbicara bahasa Inggris untuk melecehkan orang lain yang tak bisa bahasa Inggris tentu bukan laku yang pantas.
Begitu juga dengan usaha memamerkan kemampuan membaca Quran dengan tujuan melecehkan orang yang belum pernah belajar baca kitab suci itu secara serius sehingga orang itu tak sanggup membacanya juga kurang patut.
Perlombaan saling mengunggah ujaran etis oleh warganet untuk kebaikan warganet itu sendiri adalah penting dalam konteks mengimbangi ujaran-ujaran kebencian yang tampaknya tak akan pernah reda apalagi berakhir sepanjang perebutan kekuasaan, yang berujung pada perebutan kenyamanan material tak ada pangkal akhirnya.
Itu sebabnya mengharamkan penggunaan medsos dengan argumen bahwa kanal berbagi informasi yang lahir dari kemajuan teknologi informasi itu lebih banyak negatifnya daripada positifnya tampaknya masih perlu dibincangkan bersama.
Belum ada orang yang mampu menghitung secara meyakinkan dengan neraca yang bisa menunjukkan mana yang lebih berat antara manfaat atau mudarat media sosial.
Memang ada orang menipu dan tertipu, memperkosa dan diperkosa, berselingkuh karena kehadiran medsos. Tapi berapa banyak orang yang menjadi beruntung karena bisa berjualan secara daring lewat medsos kurang diperhitungkan oleh mereka yang mengharamkam medsos.
Karena medsos, banyak orang mendapat jodoh dan bahagia langgeng menjalin keluarga yang sakinah mawadah wa rohmah. Karena medsos, orang bertemu kembali dengan sanak keluarganya yang berpuluh tahun berpisah.
Kini jumlah orang yang mengunggah ujaran etis baik dalam bentuk nasihat praktis menyembuhkan trauma setelah tertimpa musibah, maupun dakwah teologis tentang bagaimana beriman secara berkualitas semakin melimpah.
Dengan semakin populernya media sosial di kalangan kaum senior yang semula gagap teknologi, semakin meriah pula ujaran etis di medsos. Para ulama pun bermedsos dan mengunggah ayat-ayat suci, hadist dan kisah-kisah teladan orang-orang suci.
Tentu jumlah unggahan ujaran etis diharapkan mampu menenggelamkan jumlah unggahan ujaran kecencian, hoaks dan fitnah. Dengan makin banyaknya ujaran etis di medsos, argumen untuk mengharamkan penggunaannya bisa digugurkan dan dilupakan. Mari perbanyak ujaran etis saat mengunggah apa yang anda pikirkan di medsos. |Spektrum, Antara|