Loading
DR Salman Habeahan. (Istimewa)
Oleh: Dr. Salman Habeahan
KRITIK yang disampaikan Ketua Badan Eksekutif (BEM) Universitas Indonesia yang menyebut Presiden Joko Widodo sebagai “The King of Lip Service” tanpa dilengkapi dengan data dan fakta yang akurat merupakan penyesatan terhadap berpikir dan bernalar kritis. Aliansi mahasiswa UGM menyusul memberikan kritikan kepada Presiden Joko Widodo dengan memberikan gelar pada Jokowi juara ketidaksesuaian omongan dan kenyataan. Sebuah kritik tanpa argumentasi yang didukung oleh data dan fakta merupakan tindakan dan cara berpikir yang tergesa-gesa dalam penyampaian pendapat, pengambilan keputusan (Lathios Hos), klaim, dan merupakan penghianatan bernalar kritis yang seharusnya tidak dikedepankan oleh lembaga pendidikan atau organisasi sekelas Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia.
Kultur Akademik
Kebebasan berekspresi (berpikir dan berpendapat) merupakan hak azasi manusia yang dilindungi oleh Undang-undang, bukan hanya berlaku bagi mahasiswa yang berada pada lembaga pendidikan tinggi tetapi juga bagi semua warga negara. Mahasiswa yang berada dalam jalur Perguruan Tinggi sebagai pusat pengembangan Ilmu pengetahuan dan tehnologi (Iptek) jika dalam menyampaikan pendapat/opini jika tidak dilandasi oleh metodologi ilmiah; analitis-kritis, didukung oleh data dan fakta, akan mengalami pembusukan, proses bernalar yang seharusnya menjadi budaya akademik perlahan-lahan akan bergeser menjadi kegiatan pragmatis yang sarat dengan kepentingan politik sesuai dengan pesanan/kepentingan.
Budaya akademis yang mengedepankan bernalar kritis; seperti memberi pendapat berdasarkan data, fakta, nilai, dan penghargaan pada tradisi akademik merupakan jiwa dari masyarakat belajar (Badan Eksekutif Mahasiswa) di Perguruan Tinggi sekelas UI dan UGM. Mahasiswa seharusnya tidak terjebak pada pragmatisme intelektual yang sarat dengan kepentingan politik praktis, bukan politik nurani. BEM sekels UI seharusnya menyuarakan pemikiran-pemikiran cerdas, kritis terhadap tatakelola pemerintahan berdasarkan data dan fakta, memberikan insight baru dalam penanganan COVID-19 sehingga tradisi menyampaikan pendapat yang dibangun benar-benar memperkuat kultur akademik; bernalar kritis, tradisi akademik yang terbuka, melalui riset, mengikuti proses ilmiah tidak dengan cara-cara klaim kebenaran sepihak yang dapat menginvasi mahasiswa/lembaga pendidikan tinggi dan menyesatkan masyarakat.
Dalam penelitian mengenai politik, ekonomi dan sejarah (Daron Acemoglu & James A. Robinson, 2012), menekankan bahwa faktor kemajuan suatu bangsa sebagai entitas sosial, ekonomi dan politik berdasarkan analisis pengalaman sejarah bangsa, turut dipengaruhi peran strategis pendidikan tinggi dalam menyiapkan SDM yang berkualitas sesuai Visi Presiden Joko Widodo – Maruf Amin. Kritik cerdas dari civitas akademik Perguruan Tinggi yang dilandasi oleh argumentasi yang cerdas, sangat dibutuhkan oleh para pemimpin bangsa sebagaimana disampaikan oleh Presiden Joko Widodo.
Pendidikan tinggi diharapkan dapat berperan untuk membina suatu kesadaran politik yang dapat diwariskan kepada generasi penerus bangsa yaitu nilai-nilai kebenaran, dan moral kebangsaan. Maka pemanggilan yang dilakukan oleh unsur rektorat kepada mahasiswa/BEM UI hendaknya tidak dilihat sebagai hambatan terhadap merdeka belajar, kebebasan kampus, tetapi merupakan bagian tanggungjawab lembaga pendidikan (kampus) atas perkembangan keseluruhan pribadi mahasiswa (development of the whole student), moralitas mahasiswa yang merupakan bagian dari proses pendidikan dan kebudayaan, bahwa mahasiswa dan dosen harus mengikuti etika/kaidah-kaidah ilmiah dalam menyampaikan pendapat di depan publik.
Menanggapi pendapat Jimmy Paat, praktisi pendidikan/dosen Universitas Negeri Jakarta yang mengatakan, kritik baik di dalam kelas, kampus, atau pun terhadap kondisi masyarakat dan pemerintahan yang menjadi bagian yang biasa di kampus sangat diterima (Kompas, 30 Juni 2021), namun harus dilandasi dengan kemampuan mengkritik dengan argumentasi yang jelas dan berdasar kaidah ilmiah. Perguruan tinggi diselenggarakan dengan prinsip (UU Pendidikan Tinggi 12/2012, Psl. 3): pencarian kebenaran ilmiah, bukan indoktrinasi, bukan jalan pintas, tetapi demokratis, berkeadilan bukan merugikan, menjunjung tinggi nilai agama dan budaya bukan “kekerasan”. Maka BEM sebagai Civitas Akademik Perguruan Tinggi harus terus mengembangkan sikap obyektivitas, kejujuran dengan rendah hati seraya bersikukuh mencari dan mengibarkan kebenaran, dan kebaruan, bukan sikap tertutup, klaim kebenaran dan budaya membangun stigma melalui pernyataan-pernyataan yang dapat menyesatkan.
Uji Kebenaran
Sebuah kebenaran ucapan, pendapat harus diuji. Menurut Oliver Wendell Holmes (1841–1935) mantan Ketua Mahkamah Agung AS, mengatakan bahwa cara terbaik untuk menguji kebenaran itu ialah dengan melemparkannya ke tengah masyarakat, untuk diterima atau ditolak. Kebenaran itu bukan pertama-tama kenyataan, argument dan bukan kesimpulan sebab substansinya tergantung sumbernya. Makna kebenaran tergantung pengucapnya, bisa relatif, tapi normative: kebenaran adalah rangkuman segala legitimasi yang terakumulasi dari beraneka fakta yang terbukti membahagiakan, memberikan harapan yang hanya dapat ditemukan dalam laku keutamaan sebagai sumber kebahagiaan (Samuel Taylor Coleridge, 1772-1834), bukan kebenaran yang dapat menyesatkan, dapat membangun stigma politik, membawa tragedy penghianatan terhadap kebenaran, pelacuran intelektual.
Memperhatikan pendapat di atas, masyarakat yang well educatet seharusnya dapat memberikan penilaian obyektif terhadap pernyataan Ketua BEM UI dan Aliansi Mahasiswa UGM yang mengatakan bahwa Presiden Joko Widodo “King of Lip Sevice”, dan “Juara Ketidaksesuaian Omongan dan Kenyataan”. Dua pernyataan tersebut sarat dengan subjektivitas dan defisit fakta dan data untuk membuktikan kebenarannya. Namun, dibalik pernyataan tersebut, jika sebuah pernyataan yang kebenarannya masih subyektif (dan bahkan sebuah kesalahan pun, hoax) bila sering atau selalu diulang-ulang dapat menjadi ‘kebenaran’ dimata masyarakat.
Profesor Derek Bok, dari Harvard University menegaskan bahwa Civitas Akademik Perguruan Tinggi harus mengembangkan kultur akdemik; kemampuan mahasiswa berpikir jernih dan kritis, mengenali dan mendefinisikan masalah, menyadari dan mempertimbangkan argumentasi dari berbagai sisi dari suatu permasalahan (Critical Thingking); kemampuan mempertimbangkan segi moral suatu permasalahan. Mahasiswa hendaknya tidak terjebak atau dijebak pada kepentingan politik praktis, perlu dilatih menerima perbedaan, sikap toleran terhadap sikap dan pandangan yang berbeda, kemampuan hidup dalam masyarakat plural dan global agar dapat menegaskan dirinya ditengah jebakan doctrinal.
Pendidikan tinggi harus membangun pendidikan yang memerdekakan dengan memberikan ruang yang luas bagi mahasiswa untuk mengungkapkan pandangannya secara bebas. Dan perlu diingat bahwa salah satu aspek pendidikan yang memerdekakan di kampus adalah keberanian mahasiswa menyampaikan gagasannya, mengkiritik tetapi dengan argumentasi yang ilmiah. Nilai dan spirit tinggi akan pengembangkan tradisi keilmuan; menghargai rasionalitas, riset, kajian ilmiah. Jika tidak, tradisi akademik pelan-pelan akan mati di kampus, dibajak oleh kepentingan pragmatis. Perguruan Tinggi seperti UI, UGM, dan lainnya, tidak boleh berhenti memperjuangkan nilai-nilai akademik yang unggul; menjaga harta warisan yang paling berharga. Dan roh pendidikan itu tidak boleh sampai mati dalam diri para dosen, civitas akademika di Perguruan Tinggi, melainkan tetap konsisten menjaga, menumbuhkan, mewariskan bagi seluruh mahasiswa kebenaran ilmiah dan moral intelektual.
Horold H. Titus menyatakan bahwa kebenaran adalah sesuatu yang sesuai dengan fakta atau sesuatu yang selaras dengan situasi aktual. Kebenaran ialah kesesuaian (agreement) antara pernyataan (statement) mengenai fakta dengan fakta aktual atau antara keputusan (judgement) dengan situasi di seputar (environmental situatioan) yang diberikan interpretasi (Amien, 1983). Para filosuf yang tergabung dalam lingkaran Wina (Vienna Circle) seperti Karl Popper berusaha mencari garis pemisah atau garis demarkasi antara pernyataan yang bermakna (meaningfull) dan pernyataan yang tidak bermakna (meaningless) dengan berdasarkan prinsip kemungkinan untuk diverifikasi. Mahasiswa harus berani menjalankan, mengatakan apa yang dengan tulus dan jujur diyakini sebagai sebuah kebenaran yang dapat diverifikasi dengan data dan fakta, membawa kebahagiaan dan mewartakan kebenaran yang membawa harapan bagi masyarakat.
Peran Perguruan Tinggi: mengembangkan iptek untuk kesejahteraan masyarakat dan mencerdaskan kehidupan bangsa perlu dipertegas kembali. Horace Man, pemikir pendidikan yang sering dikutif Filsuf John Dewei berkata: education is our only political safety, outside of this ark is the deluge (pendidikan adalah pengamanan politik satu-satunya, diluar bahtera ini hanya ada banjir dan air bah, Ignas Kleden, Tanggungjawab atas Pendidikan, Kompas 25 Juni 2015). Pemerintah dengan seluruh stakeholder perguruan tinggi diharapkan konsisten untuk meningkatkan peran perguruan tinggi sebagai The center of knowledge inquiries dan technology innovation, menjadikan perguruan tinggi sebagai pusat keunggulan dan penelitian ilmu pengetahuan, dan pengembangan peradaban, dan organisaisi kemahasiswaan seperti BEM UI seharusnya setia mengikutinya.
Adalah sebuah pembelajaran bahwa mahasiswa harus berani untuk ambil bagian dalam keberanian serupa untuk menyatakan kebenaran dan menolak bergabung dengan orang, kelompok yang menjauhkan diri dari tradisi akademik dengan menyebarkan pemikiran sempit dan pragmatis. Kebenaran dan ilmu punya korelasi yang erat. Ilmu dapat menuntun manusia ke jalan kebenaran atau dapat mendekatkan manusia kepada kebaikan atau mencapai kemaslahatan dirinya dan membentengi dirinya dari kemafsadatan (Qardhawi, 1991).
Penulis adalah ASN pada Kementerian Agama, Dosen Pascasarjana Universitas Budi Luhur Jakarta, Anggota Dewan Pakar Gerakan Pembumian Pancasila).