Loading
Danrem Lilawangsa Kolonel Inf Ali Imran (kanan) bersama prajurit TNI AD saat membubarkan aksi massa pembawa bendera GAM, di Lhokseumawe, Aceh, Kamis (25/12/2025). ANTARA/HO-Korem Lilawangsa/am.
JAKARTA, ARAHKITA.COM — Pengamat politik sekaligus Direktur Eksekutif Arus Survei Indonesia, Ali Rif’an, mengingatkan pemerintah agar tidak lengah menyikapi munculnya praktik pengibaran bendera Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di ruang publik. Menurutnya, simbol tersebut mengandung muatan ideologis dan politis yang kuat, sehingga tidak bisa dipandang sebagai ekspresi biasa.
Ali menegaskan, secara historis bendera GAM melekat erat dengan gerakan separatis bersenjata yang pernah menjadi ancaman serius bagi kedaulatan negara. Karena itu, simbol tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai simbol budaya atau ekspresi netral masyarakat.
“Kemunculan simbol seperti ini di ruang publik tidak boleh dinormalisasi,” ujar Ali dalam keterangannya di Jakarta, Jumat (26/12/2025).
Ia menilai, pengibaran bendera GAM bisa menjadi penanda masih adanya separatisme laten yang tersisa. Negara, kata dia, harus bersikap tegas dan tidak membuka ruang pembenaran terhadap simbol yang bertentangan dengan prinsip keutuhan nasional.“Jika dibiarkan, ini berpotensi memicu efek domino. Mulai dari eskalasi simbolik hingga bangkitnya kembali narasi konflik lama yang seharusnya sudah ditutup,” lanjutnya.Ali juga mengingatkan bahwa wajah separatisme saat ini telah berubah. Gerakan tersebut tidak lagi semata-mata mengandalkan kekuatan fisik, tetapi memadukan aksi lapangan dengan perang narasi di ruang digital.
Menurutnya, media sosial kini kerap digunakan untuk membangun emosi publik, memelintir persepsi, serta menyulut sentimen ketidakadilan. “Hari ini, media sosial bisa menjadi medan tempur baru bagi kelompok separatis,” ujarnya.
Ia turut mengkritik keras upaya eksploitasi situasi bencana di Aceh yang dibarengi provokasi simbolik. Dalam kondisi duka, kata Ali, emosi masyarakat sangat rentan dimanipulasi untuk membangun narasi ketidakadilan yang berujung pada delegitimasi negara.
“Kondisi psikologis publik dimanfaatkan, lalu terus diglorifikasi. Ini berisiko memicu konflik horizontal,” tegasnya.
Lebih jauh, Ali menilai ancaman separatis saat ini tidak selalu hadir dalam bentuk senjata, melainkan melalui simbol dan narasi. Namun dampaknya bisa sama berbahayanya jika negara gagal membaca situasi secara adaptif dan kontekstual.
“Separatisme tidak selalu bersenjata, tapi jika dibiarkan, dampaknya bisa sama merusaknya,” katanya dikutip Antara.
Ia menutup pernyataannya dengan menegaskan bahwa perdamaian Aceh merupakan hasil proses panjang, mahal, dan penuh pengorbanan. Karena itu, setiap simbol dan provokasi yang mengarah pada kebangkitan konflik masa lalu dinilai mencederai komitmen damai yang telah dibangun bersama.
“Menjaga perdamaian berarti menutup semua celah bagi kembalinya simbol dan narasi konflik lama,” pungkas Ali.