Soroti Kemenristek Dilebur ke Kemendikbud, Ekonom Indef: Kemenristek Tetap Didukung, Bukti Komitmen Pemerintah Dorong Riset


  • Kamis, 22 April 2021 | 21:30
  • | News
 Soroti Kemenristek Dilebur ke Kemendikbud, Ekonom Indef:  Kemenristek Tetap Didukung, Bukti Komitmen Pemerintah Dorong Riset Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira. (Net)

JAKARTA, ARAHKITA.COM - Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira menilai reshuffle dan perubahan nomenklatur kali ini menarik karena mengorbankan Kementerian Riset dan Teknologi (Kemristek). Sementara, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) justru naik kelas bertransformasi menjadi Kementerian Investasi.

"Ke depannya apakah ingin fokus kepada riset sehingga produk yang dihasilkan berteknologi tinggi atau yang penting investasi secara nominal maupun realisasi naik dulu lah karena kita butuh pemulihan ekonomi jangka pendek," tanya Bhima dalam diskusi bulanan secara daring yang digelar Beranda Ruang Diskusi (BRD), Rabu (21/4/2021).

Ia menjelaskan, di banyak negara, kebijakan yang diambil bukan substitusi melainkan sifatnya paralel karena sambung menyambung. Investasi berkualitas juga perlu adanya riset yang bagus.

"Banyak yang menyayangkan kenapa dalam situasi sekarang yang dikorbankan adalah Kemenristek, dihapus atau dilebur ke dalam Kemendikbud. Padahal kita melihat sekarang ini momentum, justru di saat pandemi ini kita melihat riset sebagai salah satu faktor utama pemulihan ekonomi," kata Bhima.

Apalagi, jumlah peneliti di Indonesia masih sangat rendah.

Menurut data Indef tahun 2020, jumlah peneliti di Indonesia berkisar antara 216 orang per 1 juta penduduk.

Dibandingkan dengan Vietnam, jumlahnya 707 orang per 1 juta penduduk.

Negara maju seperti Jerman memiliki 5.211 orang peneliti per 1 juta penduduk, Jepang 5.331 orang dan tertinggi, Korea Selatan punya 7.890 orang peneliti per 1 juta penduduk.

Di sisi lain, belanja riset Indonesia juga hanya 0,3 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Dibandingkan Malaysia, nilainya 1,1 persen dari PDB. Negara maju seperti Jepang anggaran risetnya 3,4 persen dari PDB, sedangkan Korea Selatan 4 persen dari PDB.

"Jadi jumlah risetnya kalah, belanja riset kalah," kata Bhima.

Menurut dia, seharusnya Kemenristek tetap didukung karena itu salah satu bentuk komitmen pemerintah mendorong riset. Kemudian di sisi lain, masih banyak hal salah satunya perlu diperbaiki, misalnya paten.

"Banyak teman-teman yang mau berinovasi di Indonesia karena ekosistemnya belum mendukung, akhirnya paten itu didapatkan di negara lain yang proses pendaftaran patennya relatif lebih cepat," tuturnya.

Kemudian dari sisi daya saing, Indonesia sebenarnya terlihat sangat jelas apple to apple dengan negara-negara lain. "Indonesia itu memang daya saingnya so-so lah kita di peringkat 50 dunia. Lebih baik daripada Vietnam, Filipina. Cuma yang jadi catatan kalau kita bongkar komponen daya saing yang ada di Indonesia, kita menang itu karena marketplace kita besar karena populasi penduduk kita besar, doyan jajan, doyan belanja," paparnya.

Hal ini saja sudah membuat banyak investor tertarik ke Indonesia, salah satunya karena melihat pasar yang besar.

"Jadi, kalau dalam konteks ini Pak Jokowi ingin meningkatkan realisasi investasi yang berkualitas juga, saran saya Sri Mulyani yang diganti karena banyak dari sebagian ini justru tugas dari Menkeu," ucapnya.

Menurut dia, beberapa hambatan dari daya saing dan usaha itu bukan dengan cara BKPM naik menjadi kementerian, tapi justru ada pada kementerian teknis yang belum cepat untuk melakukan perubahan. "Salah satunya di Kemenkeu dalam pembayaran pajak kemudian trading accros border. Ini salah satu hal ya. Belum bicara registrasi IMB di Indonesia yang rumit dan lain- lain," jelasnya.

Sementara dalam kesempatan itu, Ketua DPP partai banteng Eriko Sotarduga menanggapi kabar beredar terkait pertemuan antara Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim dengan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri.

Pertemuan itu diketahui dari unggahan foto pada akun Instagram Nadiem, Selasa lalu. Eriko membantah anggapan kedatangan Nadiem mencari suaka politik jelang reshuffle. Pertemuan itu sudah beberapa hari lalu.

"Jadi gini sebenarnya, kenapa Mas Nadiem bertemu dengan Bu Mega? Sebenarnya pertemuan atau silaturahmi antara Mendikbud dengan Ibu Mega dalam rangka sebagai Ketua Dewan Pengarah BPIP (Badan Pembinaan Ideologi Pancasila)," jelasnya.

Pertemuan selama dua jam itu juga fokus membahas hilangnya kurikulum Pancasila dalam Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan.

"Kalau mau dijabarkan lebih lanjut ini terkait dengan PP Nomor 57 yang sempat menjadi kontroversial. Itulah yang disebut aksi dan reaksi cepat dari Ibu Mega," tegasnya.

"Kenapa sampai ada perubahan dalam hal pendidikan Pancasila yang juga ada di perguruan tinggi atau tingkat-tingkat pendidikan di levelnya masing-masing."

Bahkan pertemuan tersebut tidak dilakukan secara empat mata. Mega dalam hal ini bukan berperan sebagai Ketua Umum PDIP. "Ibu Mega yang saya kenal tidak mungkin mencampuri hal-hal seperti itu," kata Eriko.

Sebaliknya, Direktur Eksekutif Indonesia Political Review, Ujang Komarudin menilai pertemuan itu bukan sekedar silaturahmi atau diskusi semata. Ia memberi gambaran ketika Nadiem dikritik Muhammadiyah, Nadlatul Ulama (NU) hingga Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) terkait persoalan anggaran Program Organisasi Penggerak, justru yang dilakukan mantan bos Gojek itu berkeliling menemui para kiai NU.

"Ini juga bagian untuk menyelesaikan kritik. Ini fakta dan kenyataan. Nah artinya, bisa jadi pertemuan itu tidak ada yang kebetulan," ucapnya.

Ibarat jika ingin bertemu menteri maka ketua DPR harus membawa bahan. Tapi di luar itu adalah pembicaraan lain. "'Tolonglah amankan kita dikitlah, colek-colek sedikit Pak Jokowi biar kita aman'. Kan bisa saja.

Tapi tadi, ada bahasa diplomasi, lobi, dan media. Nah yang mungkin digunakan Nadiem adalah bahasa lobi, bahasa diplomasi dengan membawa bahan persoalan Pancasila,"kata Ujang.

"Ya itu biasa dilakukan oleh politisi di manapun untuk mengamankan diri ketika banyak disorot," imbuh Ujang

Editor : Farida Denura

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

News Terbaru