Loading
Ilustrasi - Tangkapan layar jurnalis CNN Indonesia live melaporkan bencana di Aceh Tamiang. (Net)
JAKARTA, ARAHKITA.COM — Gelombang pembatasan informasi terkait bencana di Sumatera memunculkan kekhawatiran serius terhadap masa depan kebebasan pers dan hak publik atas informasi. Dalam beberapa hari terakhir, sejumlah media nasional menghadapi tekanan, intimidasi, hingga penghentian siaran saat melaporkan kondisi bencana di lapangan.
Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) menilai situasi ini bukan peristiwa yang berdiri sendiri. Polanya dinilai sistematis dan mengarah pada upaya pengendalian arus informasi publik. Mulai dari intimidasi terhadap jurnalis yang meliput bantuan internasional, penghapusan konten pemberitaan bencana di media daring, hingga praktik sensor diri dalam siaran langsung televisi, semuanya menunjukkan kecenderungan yang sama: fakta di lapangan disisihkan demi narasi resmi.
Menurut KKJ, laporan jurnalis justru memperlihatkan kondisi nyata yang tidak selalu sejalan dengan pernyataan pejabat negara. Ketika informasi faktual dibatasi, publik kehilangan hak dasar untuk mengetahui situasi sebenarnya, terutama dalam konteks bencana yang menyangkut keselamatan banyak orang.
Kemerdekaan Pers Terus Tertekan
Dalam rilis yang disampaikan ke media, KKJ menegaskan bahwa intimidasi dan pembatasan terhadap jurnalis merupakan serangan langsung terhadap kemerdekaan pers. Padahal, kebebasan pers merupakan fondasi penting demokrasi dan indikator kebebasan sipil suatu negara. Tindakan tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, yang menjamin perlindungan hukum bagi kerja jurnalistik.
Lebih jauh, praktik menghalang-halangi peliputan berpotensi masuk ke ranah pidana. Upaya penyelesaian informal tidak serta-merta menghapus unsur pelanggaran hukum yang terjadi.
Hak Publik atas Informasi Terancam
Pembatasan pemberitaan bencana juga dinilai melanggar hak konstitusional warga negara atas informasi. Dalam situasi darurat, informasi yang akurat dan terbuka menjadi kebutuhan mendesak. Ketika negara justru menyeragamkan narasi dan menutup fakta, keselamatan publik ikut dipertaruhkan.
KKJ mengingatkan bahwa kontrol berlebihan terhadap informasi dapat mengarah pada manipulasi pengetahuan publik. Jika ruang verifikasi dan kritik dibungkam, pernyataan keliru atau menyesatkan dari pejabat berisiko beredar tanpa koreksi.
Negara Berisiko Menjadi Sumber Disinformasi
Intervensi terhadap pemberitaan bencana, termasuk dugaan penghentian liputan, dinilai membuka peluang negara menjadi produsen disinformasi. Praktik ini bertentangan dengan prinsip keterbukaan, akurasi, dan kepentingan publik yang seharusnya dijunjung dalam negara hukum dan demokrasi.
KKJ juga menekankan bahwa tanggung jawab tidak hanya berada di pundak negara. Perusahaan media memiliki mandat sebagai pengawas kekuasaan. Ketika media memilih diam atau melakukan sensor diri, fungsi kontrol sosial ikut melemah.
Lima Tuntutan KKJAtas situasi tersebut, KKJ mendesak:
Tentang KKJ
Komite Keselamatan Jurnalis dideklarasikan di Jakarta pada 5 April 2019 sebagai aliansi strategis melawan impunitas kekerasan terhadap jurnalis. Koalisi ini terdiri dari 11 organisasi pers dan masyarakat sipil, antara lain: