Loading
Direktur Satu Honai Indonesia, Hironimus Hilapok bersama Romo Franz Magnis-Suseno SJ dalam diskusi publik yang digelar PP Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) bersama Satu Honai Indonesia di Margasiswa PMKRI Jakarta Pusat, Selasa (10/12/2025). (Foto: Dok. PP PMKRI)
JAKARTA, ARAHKITA.COM – Peringatan Hari Hak Asasi Manusia Sedunia 2025 menjadi ruang penting bagi berbagai pihak untuk kembali menyoroti situasi HAM di Papua. Dalam diskusi publik yang digelar PP Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) bersama Satu Honai Indonesia di Margasiswa PMKRI Jakarta Pusat, Selasa (10/12/2025), Direktur Satu Honai Indonesia, Hironimus Hilapok, menyampaikan refleksi tajam mengenai posisi Orang Asli Papua (OAP) dalam kebijakan negara.
Hilapok, yang juga merupakan representasi OAP, menegaskan bahwa persoalan Papua bukan sekadar rentetan kasus pelanggaran HAM, tetapi sebuah konflik struktural yang terus berlangsung selama puluhan tahun. Ketimpangan pembangunan, kekerasan berbasis negara, serta diskriminasi yang mengakar menjadikan masyarakat Papua berada pada posisi yang rentan.
“Upaya penyelesaian HAM di Papua selama ini tersandera oleh tarik-menarik kepentingan politik dan lemahnya akuntabilitas negara. Kita butuh dialog jujur antara pemerintah dan masyarakat Papua,” ujar Hilapok dalam diskusi bertema “Mengurai Benang Kusut Problem HAM di Papua: Mempertanyakan Posisi OAP di Dalam Republik Indonesia.”
OAP Harus Menjadi Pengambil Keputusan, Bukan Sekadar Penerima Manfaat
Hilapok menyoroti bahwa peringatan Hari HAM Sedunia harus menjadi momentum untuk mengoreksi cara negara memposisikan masyarakat Papua. Menurutnya, OAP sering kali diperlakukan hanya sebagai penerima manfaat program perusahaan atau negara, padahal mereka adalah pemilik tanah ulayat yang kaya mineral dan sumber daya alam.
“Orang Asli Papua mesti ditempatkan sebagai aktor utama, bukan hanya objek pembangunan. Hak hidup dan masa depan mereka tak bisa ditentukan tanpa keterlibatan langsung OAP,” tegasnya.
Ia juga menyinggung paradoks Papua—kaya sumber daya alam namun menjadi salah satu wilayah termiskin di Indonesia. Hilapok menilai, hal ini dipicu oleh tumpang-tindih regulasi pusat dan minimnya partisipasi OAP dalam pembangunan.
Romo Magnis-Suseno: Papua Adalah Luka Kemanusiaan yang Terbuka
Hadir sebagai penanggap, Romo Franz Magnis-Suseno SJ menilai persoalan Papua adalah masalah kemanusiaan yang berlangsung jauh sejak proses integrasi. Kekerasan, katanya, menjadi akar dari berbagai persoalan di wilayah tersebut.
“Papua adalah luka terbuka di tubuh bangsa. Impunitas di Indonesia, terutama di Papua, harus diakhiri,” ungkap ahli etika tersebut.
Romo Magnis mengusulkan perlunya perundingan setara antara Papua dan Jakarta, bahkan jika perlu difasilitasi di luar negeri demi menjamin ruang dialog yang bebas. Ia juga mendorong pemerintah untuk mengurangi kehadiran militer di Papua sebagai langkah membangun kepercayaan.
Gereja Diminta Berdiri Bersama Rakyat Papua
Dalam pandangannya, Gereja memiliki peran moral untuk ikut memperjuangkan hak-hak OAP agar memperoleh kesetaraan sebagai warga negara.
“Saya berharap Gereja Katolik dan Gereja-gereja lokal di Papua mendukung perjuangan rakyat Papua untuk mendapatkan hak yang sama seperti warga negara lainnya,” tutur Romo Magnis.
Diskusi ini menjadi pengingat bahwa isu Papua bukan hanya soal politik, tetapi menyentuh inti dari martabat manusia. Momentum Hari HAM Sedunia 2025 menjadi pengingat bahwa penyelesaian konflik Papua membutuhkan keberanian, kesetaraan, dan dialog yang benar-benar mendengarkan suara Orang Asli Papua.