Selasa, 30 Desember 2025

Sumatera dalam Darurat Bencana Ekologis: WALHI Desak Negara dan Korporasi Bertanggung Jawab


  • Senin, 01 Desember 2025 | 21:00
  • | News
 Sumatera dalam Darurat Bencana Ekologis: WALHI Desak Negara dan Korporasi Bertanggung Jawab Ilustrasi - Gelombang banjir dan longsor di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat menandakan krisis ekologis serius. (Foto: Dok. WALHI)

JAKARTA, ARAHKITA.COM - Banjir dan longsor yang menerjang Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat pada 25–27 November bukan sekadar musibah musiman. Data Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menegaskan bahwa tragedi ini merupakan bencana ekologis, dipicu oleh hilangnya bentang hutan dan melemahnya sistem penyangga alam yang selama ini melindungi wilayah-wilayah di lereng Bukit Barisan.

Lebih dari 156 ribu warga terpaksa mengungsi, sementara ratusan lainnya meninggal dan masih dinyatakan hilang. Kondisi ini merupakan akumulasi panjang kerusakan lingkungan. Dalam rentang 2016–2025, sekitar 1,4 juta hektar hutan hilang di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Penyebabnya didominasi aktivitas 631 perusahaan yang mengantongi izin tambang, perkebunan sawit, PLTA–PLTM, panas bumi, hingga PBPH kehutanan.

Di banyak titik, kerusakan terparah terjadi di wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS) yang berada di kawasan hulu Bukit Barisan. Di Sumatera Utara misalnya, banjir besar menghantam kawasan Ekosistem Harangan Tapanuli (Batang Toru) — ruang hidup orangutan Tapanuli yang telah hilang lebih dari 72 ribu hektar tutupan hutan dalam delapan tahun terakhir.

Aceh menghadapi situasi lebih kompleks. Dari 954 DAS, setidaknya 20 masuk kategori kritis. DAS Krueng Trumon kehilangan 43% tutupan hutan, sementara DAS Singkil kehilangan 820 ribu hektar dalam satu dekade. Kerusakan serupa terlihat di DAS Peusangan, Krueng Tripa, Jambo Aye, hingga Tamiang — menunjukkan pola yang sistematis: ekosistem hilang, risiko bencana meningkat.

Sumatera Barat pun mengalami degradasi yang tidak kalah akut. DAS Aia Dingin di Padang kehilangan 780 hektar hutan sejak 2001, sebagian besar pada kawasan hulu yang berfungsi menyerap aliran air. Ketika hujan ekstrem tiba, daerah hilir tidak lagi mampu menahan debit air besar, sehingga banjir bandang menjadi sulit dihindari.

WALHI: Ini Bukan Bencana Alam — Ini Bencana Kebijakan

Menurut Direktur WALHI Aceh, Ahmad Solihin, bencana ini adalah hasil kebijakan yang terlalu permisif terhadap investasi ekstraktif. Deforestasi, ekspansi sawit, hingga maraknya pertambangan ilegal disebut menjadi sumber kerentanan ekologis yang kini membuktikan akibatnya.

Nada serupa datang dari WALHI Sumatera Utara. Riandra Purba menyoroti PLTA Batang Toru dan aktivitas tambang emas yang telah merusak badan sungai serta habitat satwa endemik. Alih fungsi lahan demi industri terjadi melalui revisi tata ruang dan pelepasan kawasan hutan.

Sementara itu, WALHI Sumatera Barat menyebut deforestasi dan lemahnya penegakan hukum sebagai pemicu berulangnya banjir dan longsor. Kayu-kayu yang hanyut bersama arus sungai disebut sebagai bukti terbaru adanya penebangan di hulu DAS. Negara, menurut WALHI, gagal memenuhi mandat perlindungan terhadap rakyatnya.

Tanggung Jawab Korporasi Tidak Boleh Gugur

WALHI Nasional melalui Uli Arta Siagian menegaskan bahwa pengurus negara harus mengevaluasi bahkan mencabut izin perusahaan yang merusak ekosistem. Biaya pemulihan lingkungan tidak boleh dibebankan pada negara, karena kerusakan terjadi demi keuntungan korporasi.

Gandar Mahojwala dari WALHI Yogyakarta menekankan bahwa informasi BMKG tentang potensi bencana sebenarnya sudah jelas, namun respons pemerintah dinilai lambat. Jika negara tetap menyebut kejadian ini sebagai “bencana alam”, maka tanggung jawab korporasi akan gugur — dan itu dianggap sebagai bentuk pengabaian terhadap hak publik.

Melva Harahap dari WALHI Nasional menambahkan bahwa dampak bencana ini meruntuhkan pranata kehidupan masyarakat: akses komunikasi terputus, pangan terbatas, listrik padam, warga terisolasi, hingga hak hidup aman terabaikan. Karena itu, penetapan status bencana nasional menjadi pilihan yang harus dipertimbangkan agar penanganan berlangsung cepat dan menyeluruh dalam rilis yang diterima media ini, Senin (1/12/2025).

Keputusan Iklim dan Masa Depan Sumatera

WALHI juga mengingatkan bahwa risiko bencana ekologis akan semakin sering terjadi jika kebijakan iklim nasional tidak berubah. Proyek energi yang memperluas perdagangan karbon, tanpa pengurangan bahan bakar fosil yang signifikan, berpotensi memperburuk deforestasi dan meningkatkan risiko bencana hidrometeorologi di masa depan.

WALHI menyerukan transisi energi yang adil, memulihkan ekosistem hutan, serta melindungi hak masyarakat sebagai fondasi utama penyelamatan ruang hidup. Tanpa itu, tragedi ekologis seperti yang terjadi di Sumatera bukan hanya akan terulang — tetapi bisa jauh lebih besar.

Editor : Farida Denura

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

News Terbaru