Loading
Suasana hari ketiga Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia (SAGKI) 2025 dengan menghadirkan tiga narasumber yang memantik refleksi kritis mengenai sinodalitas Gereja pasca-Sinode Para Uskup 2001–2004 serta kaitannya dengan situasi ekonomi dan politik bangsa saat ini. (Foto : Tim Pubdok SAGKI 2025)
JAKARTA, ARAHKITA.COM — Gereja Katolik Indonesia sebagai bagian dari bangsa ini tidak pernah berdiri di luar realitas sosial. Gereja ikut hidup dalam denyut kehidupan masyarakat: dalam suka, duka, keberhasilan, hingga pergumulan yang membentuk perjalanan bangsa. Karena itu, peran Gereja bukan hanya sebagai saksi iman, tetapi juga sebagai bagian dari proses memperbaiki kehidupan bangsa secara moral, sosial, dan spiritual.
Kesadaran inilah yang menjadi semangat Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia (SAGKI) 2025. Pada hari ketiganya, sidang menghadirkan tiga narasumber yang memantik refleksi kritis mengenai sinodalitas Gereja pasca-Sinode Para Uskup 2001–2004, serta kaitannya dengan situasi ekonomi dan politik bangsa saat ini.
Sinodalitas: Hidup, Berkarya, dan Bermisi Bersama
Mgr. Prof. Dr. Adrianus Sunarko, OFM, menjelaskan bahwa sinodalitas bukan sekadar konsep, melainkan cara hidup dan cara bertindak Gereja (modus vivendi et operandi). Gereja sinodal adalah komunitas yang mau mendengarkan Sabda, merayakan Ekaristi, membangun persaudaraan, berdialog, melakukan disermen, serta mengambil keputusan bersama untuk melaksanakan misi.
Menurutnya, kunci sinodalitas terletak pada ecclesial discernment—yakni kemampuan untuk mendengarkan dalam suasana saling percaya, disertai transparansi dan akuntabilitas. Dari proses inilah terlihat apakah Gereja sungguh-sungguh hidup secara sinodal atau belum.
“Dalam gerak sinodalitas, Gereja harus merangkul semua, memberi ruang bagi yang kurang diperhatikan, dan mencari kehendak Roh Kudus bersama-sama,” ujar Mgr. Sunarko. Ia menyebut metode ini sebagai conversation in the spirit, di mana setiap orang diberi kesempatan berbicara, lalu keputusan diambil berdasarkan bisikan Roh Kudus, bukan kehendak pribadi.
Lebih jauh, ia menegaskan bahwa spiritualitas sinodal juga menuntut pertobatan, penyembuhan, dan rekonsiliasi. Termasuk dalam hal relasi antara laki-laki dan perempuan, Gereja diharapkan hidup dalam semangat kesetaraan dan saling melengkapi, sebagaimana ditegaskan dalam dokumen final Sinode.
Tegangan Dinamis dalam Mewujudkan Gereja Sinodal
Namun, perjalanan menuju Gereja yang benar-benar sinodal bukan tanpa tantangan. Dokumen Pathways for Implementation menyebut adanya “tegangan dinamis” yang harus dihidupi Gereja, seperti antara kesatuan dan keragaman, tradisi dan pembaruan, otoritas dan partisipasi.
Paus Fransiskus (mengutip ajaran Paus Leo XIII) menegaskan bahwa ketegangan tersebut tidak boleh dihapus, melainkan dimurnikan oleh Roh Kudus agar tidak jatuh dalam polarisasi ideologis. Sinodalitas yang autentik, menurut Paus, justru membuat Gereja mampu menjadi suara profetik—menghadirkan harapan dan kebaikan bersama di tengah budaya dunia yang semakin terfragmentasi.
Dua Masalah Mendasar Ekonomi: Keadilan dan Kesejahteraan
Dari sisi ekonomi, refleksi SAGKI 2025 menyoroti dua hal penting: keadilan dan kesejahteraan. Filsuf dan ekonom India Amartya Sen pernah menegaskan bahwa tidak ada kesejahteraan tanpa keadilan. Keduanya harus berjalan beriringan, karena kesejahteraan sejati tidak mungkin hadir dalam masyarakat yang masih menyimpan ketimpangan dan penindasan.
Kondisi Indonesia saat ini masih mencerminkan ketimpangan tersebut. Meskipun data ekonomi menunjukkan pertumbuhan hingga 8 persen, kenyataan di lapangan menunjukkan hal berbeda: daya beli menurun, kemiskinan meningkat, dan kesenjangan ekonomi makin lebar antara kelompok kaya dan miskin sebagaimana dikutip dalam laman mirifica.net
Dalam konteks ini, Gereja mengingatkan kembali panggilan moral pemerintah dan masyarakat untuk menegakkan keadilan sosial. Seperti pesan Paus Leo XIII, kesejahteraan umum harus menjadi tujuan utama, terutama bagi mereka yang lemah dan terpinggirkan.
Ketidakpastian Global dan Krisis Nilai
Di sisi lain, dunia saat ini tengah menghadapi gejolak geopolitik dan perubahan nilai-nilai universal. Dari aksi borong emas global hingga pergeseran kriteria kepemimpinan di berbagai negara, termasuk Amerika Serikat, semuanya menunjukkan dunia sedang berada dalam masa ketidakpastian yang tinggi.
Kita hidup di era tanpa batas—borderless world—di mana informasi, transaksi, bahkan virus, bisa menyebar tanpa kendali. Futurolog seperti Bill Gates telah memperingatkan tentang kemungkinan pandemi baru yang muncul di tengah globalisasi ekstrem. Ironisnya, banyak orang justru menjadi “kebal” terhadap ketidakpastian ini, menganggapnya hal biasa.
Lilinnya Harapan di Tengah Kegelapan
Umat Katolik Indonesia memang hanya sebagian kecil dari populasi bangsa, namun Gereja tetap memiliki peran penting: menjadi lilin kecil yang terus menyala di tengah ketidakpastian dunia. Dalam kebingungan global dan ketimpangan sosial, Gereja diharapkan menjadi tanda harapan—menyuarakan kebenaran, memperjuangkan keadilan, dan memelihara nilai kemanusiaan.
SAGKI 2025 mengingatkan bahwa Gereja sinodal bukan hanya struktur, melainkan semangat untuk berjalan bersama, membangun dialog, dan menjadi bagian aktif dari solusi bangsa. Di tengah perubahan zaman, Gereja dipanggil untuk tetap menjadi suara hati nurani yang menerangi langkah Indonesia menuju masa depan yang lebih adil dan penuh harapan.