Loading
Diskusi menanggapi Pidato Presiden Prabowo di Sidang PBB ke-80. (Foto: Istimewa)
JAKARTA, ARAHKITA.COM – Pidato Presiden Prabowo Subianto di Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ke-80 di New York menuai kritik dari sejumlah organisasi masyarakat sipil. Meski menegaskan komitmen Indonesia terhadap isu pangan, iklim, dan perdamaian dunia, pernyataan Prabowo dinilai belum menyentuh akar persoalan di dalam negeri.
Prabowo berpidato pada Selasa (23/9/2025) sebagai pemimpin ketiga setelah Presiden Brasil Lula da Silva dan Presiden Amerika Serikat Donald Trump. Dalam pidatonya, ia menyampaikan keberhasilan Indonesia mencapai swasembada beras, rencana reforestasi 12 juta hektar lahan terdegradasi, pembangunan tanggul laut 480 kilometer, serta ambisi nol emisi pada 2060 atau lebih cepat.
Namun, realita di lapangan dinilai berbanding terbalik. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan luas lahan sawah turun dari 10,21 juta hektar pada 2023 menjadi 10,05 juta hektar pada 2024. Produksi padi juga menurun, dari 53,98 juta ton pada 2023 menjadi 53,14 juta ton pada 2024. Akibatnya, harga beras di beberapa daerah seperti Jayapura dan Merauke melonjak hingga Rp18.000 per kilogram, jauh di atas Harga Eceran Tertinggi (HET).
“Realitanya sawah berkurang dan harga beras terus melambung,” kata peneliti CELIOS, Jaya Darmawan, dalam diskusi media di Jakarta, Selasa (24/9).
Belum Serahkan Komitmen Global
Kritik juga datang terkait komitmen iklim Indonesia. Hingga kini, pemerintah belum menyerahkan Second Nationally Determined Contribution (SNDC) meski tenggat berakhir 20 September 2025. Direktur Eksekutif Madani Berkelanjutan, Nadia Hadad, menilai pendekatan pemerintah masih sebatas solusi teknis tanpa mengurai akar masalah ketimpangan dan keadilan iklim.
“Siapa yang menikmati hasil ekonomi dari sektor ekstraktif ini? Krisis iklim bukan sekadar soal teknologi, tetapi ketidakadilan struktural,” ujarnya.
Nadia juga mengingatkan bahwa ambisi pangan dan energi berisiko mendorong deforestasi. Menurutnya, solusi nyata adalah mempercepat pensiun dini PLTU batu bara, membatasi ekspansi sawit, serta menjaga biodiversitas.
Target Energi Terbarukan Dinilai Mundur
Peneliti ICEL, Saffanah Azzahra, menyoroti target energi terbarukan Indonesia yang dinilai menurun. Kebijakan Energi Nasional terbaru menetapkan porsi energi terbarukan hanya 19–23% pada 2030, lebih rendah dibanding target sebelumnya 23% pada 2025 dan 31% pada 2050.
“Dengan dominasi fosil 79% pada 2030, target Paris Agreement mustahil tercapai. Kita justru menuju pemanasan global 3–4 derajat celcius,” kata Saffa dalam rilis yang diterima media ini.
Ia juga mengkritisi teknologi co-firing yang justru mendorong deforestasi hingga 4,65 juta hektar menurut data Forest Watch Indonesia.
Sorotan soal HAM
Selain isu pangan dan energi, komitmen HAM Indonesia juga dipertanyakan. Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menilai janji Prabowo menjaga perdamaian dunia hanya retorika bila Indonesia belum meratifikasi Statuta Roma dan Konvensi Pengungsi.
“Untuk apa bicara perdamaian dunia, jika di dalam negeri masih ada penahanan aktivis HAM dan mahasiswa pasca-demonstrasi Agustus 2025,” kata Usman.
Menurutnya, diplomasi internasional baru bermakna jika sejalan dengan penghormatan HAM, keadilan iklim, dan keadilan pangan di dalam negeri.