Loading
Ratusan mahasiswa berunjuk rasa di depan Gedung DPR RI di Senayan, Jakarta menuntut disahkannya RUU Perampasan Aset, Senin (1/9/2025). (Foto: Istimewa)
JAKARTA, ARAHKITA.COM – Keluarga Mahasiswa Magister Ilmu Hukum (KMMIH) Universitas Gadjah Mada (UGM) menegaskan bahwa pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset tidak bisa lagi ditunda. Mereka menilai regulasi ini sangat mendesak untuk memperkuat instrumen hukum dalam pemberantasan korupsi dan kejahatan ekonomi.
Presiden KMMIH UGM Kampus Jakarta, Razikin, menyampaikan bahwa Indonesia membutuhkan aturan tegas untuk mengembalikan aset hasil tindak pidana kepada negara. Menurutnya, selama ini meski banyak kasus korupsi diproses hingga putusan pengadilan, kerugian negara yang berhasil dikembalikan masih minim. Hal ini terjadi karena sistem hukum yang berlaku belum sepenuhnya mendukung mekanisme non-conviction based confiscation atau perampasan aset tanpa harus menunggu vonis pidana.
“RUU Perampasan Aset bukan sekadar menghukum pelaku, tetapi juga memastikan aset hasil kejahatan bisa kembali untuk kepentingan negara dan masyarakat,” ujarnya di Jakarta, Selasa (2/9/2025).
Razikin menambahkan, urgensi pengesahan RUU ini dapat dilihat dari dasar konstitusi. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menegaskan Indonesia sebagai negara hukum, sementara Pasal 23 UUD 1945 mengatur pengelolaan keuangan negara untuk kemakmuran rakyat. Membiarkan aset hasil kejahatan tidak dirampas, menurutnya, sama saja dengan mengabaikan amanat konstitusi.
Selain itu, Indonesia juga terikat kewajiban internasional melalui Konvensi PBB Antikorupsi (UNCAC) 2003 yang diratifikasi lewat UU Nomor 7 Tahun 2006. Konvensi ini mengharuskan negara anggota memiliki perangkat hukum untuk merampas aset hasil tindak pidana, baik dengan maupun tanpa putusan pidana.
Dari sisi hukum nasional, RUU ini dinilai melengkapi UU Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi serta UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Namun, kedua UU tersebut masih terbatas karena membutuhkan putusan pidana terlebih dahulu sebelum aset bisa disita.
“Inilah celah hukum yang coba ditutup melalui RUU Perampasan Aset,” jelas Razikin.
Ia menambahkan, dari perspektif ekonomi hukum, keberadaan UU ini akan memberi kepastian hukum sekaligus menyelamatkan potensi kerugian negara hingga triliunan rupiah setiap tahunnya. Dana yang berhasil dikembalikan bisa dialokasikan untuk pendidikan, kesehatan, hingga pembangunan infrastruktur.
Razikin pun menegaskan bahwa momentum politik saat ini menjadi waktu yang tepat bagi DPR dan pemerintah untuk membuktikan komitmen memerangi korupsi. “Menunda pengesahan RUU ini hanya akan memberi ruang lebih besar bagi mafia ekonomi dan koruptor. Negara ini tidak boleh menjadi surga bagi para penjahat ekonomi,” tegasnya dikutip Antara.
Sebelumnya, Menteri Hukum Supratman Andi Agtas juga mengungkapkan bahwa DPR siap mengambil alih pembahasan RUU Perampasan Aset yang sebelumnya diinisiasi pemerintah. RUU tersebut sudah resmi masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025–2029.