Loading
Anggota Pansus Haji 2024 Luluk Nur Hamidah ditemui di Jakarta, Minggu (13/7/2025). ANTARA/Lintang Budiyanti Prameswari.
JAKARTA, ARAHKITA.COM — Anggota Panitia Khusus (Pansus) Haji 2024, Luluk Nur Hamidah, menyoroti wacana penyelenggaraan haji menggunakan jalur laut. Menurutnya, ide tersebut perlu dikaji lebih dalam dan tidak bisa serta-merta dijadikan opsi utama tanpa mengevaluasi sistem haji yang sudah berjalan, terutama yang menggunakan jalur udara.
“Kalau konteksnya paket khusus atau sekadar nostalgia romantisme masa lalu, itu sah-sah saja. Tapi kalau dijadikan opsi utama, perlu pertimbangan serius,” ujar Luluk saat ditemui di Jakarta, Minggu (13/7/2025).
Fokus pada Perbaikan Jalur Udara
Luluk menekankan bahwa saat ini justru yang lebih mendesak adalah meningkatkan kualitas layanan dan pengawasan pada penyelenggaraan haji lewat jalur udara. Ia menyebutkan, Indonesia sudah memiliki armada penerbangan yang memadai dan seharusnya bisa dioptimalkan.
“Maskapai kita banyak, penerbangan domestik juga aktif. Sayangnya, kemarin ini justru dimonopoli oleh satu maskapai dan ternyata tidak mampu menangani semuanya. Itu yang harus dievaluasi lebih dulu,” katanya.
Menurut Luluk, perbaikan manajemen penyelenggaraan haji udara menjadi prioritas sebelum pemerintah mempertimbangkan jalur alternatif seperti kapal laut.
Jalur Laut Hanya Cocok untuk Paket Khusus
Luluk tidak menutup kemungkinan pelaksanaan haji via laut, tetapi lebih cocok jika dikemas dalam bentuk paket khusus. Misalnya, haji plus dengan nuansa rekreasi sejarah atau wisata religi yang bisa melibatkan biro perjalanan.
“Ada juga yang ingin merasakan perjalanan seperti di masa Rasulullah, berjalan kaki dari Madinah ke Makkah. Nah, model seperti itu cocok untuk kelompok terbatas atau biro wisata,” jelasnya.
Namun, ia mengingatkan, opsi ini tetap bersifat opsional dan tidak boleh menggantikan layanan utama yang semestinya disediakan negara lewat jalur udara.
Evaluasi Menyeluruh Dibutuhkan
Lebih lanjut, Luluk menyatakan bahwa wacana haji jalur laut tidak boleh muncul karena ketidakmampuan sistem udara. Ia menilai perlu ada evaluasi manajemen secara menyeluruh agar tidak salah mengambil keputusan.
“Kalau jalur laut dibuka karena kita dianggap tak mampu mengelola jalur udara, ya itu justru yang harus dievaluasi. Jangan-jangan bukan masalah armada, tapi manajemennya yang kurang,” tegasnya dikutip Antara.
Respons Menteri Agama
Sebelumnya, Menteri Agama Nasaruddin Umar juga menyebut bahwa wacana haji jalur laut masih butuh kajian mendalam. Ia menyoroti aspek efisiensi waktu dan biaya sebagai tantangan utama.
“Dulu kapal seperti Belle Abeto dan Gunung Jati digunakan, tapi bisa makan waktu tiga hingga empat bulan. Sekarang mungkin kapalnya lebih cepat, tapi tetap harus dihitung lagi,” ujar Nasaruddin.
Ia menambahkan, jalur laut lebih masuk akal untuk negara-negara yang lebih dekat secara geografis, seperti Mesir, sementara Indonesia menghadapi tantangan jarak yang jauh.