Loading
etua Komnas HAM Anis Hidayah saat peluncuran Kertas Kebijakan Hasil Pengamatan Situasi HAM atas Pengaduan PHK di Kantor Komnas HAM RI, Jakarta, Kamis (5/6/2025). (ANTARA/HO-Komnas HAM)
JAKARTA, ARAHKITA.COM – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menegaskan bahwa tindakan perkosaan dan kekerasan seksual lainnya termasuk dalam kategori pelanggaran HAM berat yang terjadi saat kerusuhan 13–15 Mei 1998.
Hal ini disampaikan oleh Ketua Komnas HAM RI, Anis Hidayah, dalam pernyataan resminya pada Senin (16/6/2025) di Jakarta. Ia mengungkapkan bahwa ada lima bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi dalam tragedi tersebut, yakni pembunuhan, perampasan kebebasan, penyiksaan, kekerasan seksual (termasuk perkosaan), dan persekusi.
Temuan tersebut merupakan hasil investigasi Tim Ad Hoc Penyelidikan Pelanggaran HAM Berat yang dibentuk Komnas HAM pada Maret 2003 dan rampung pada September tahun yang sama. Laporan resmi penyelidikan kemudian diserahkan kepada Jaksa Agung pada 19 September 2003 melalui surat bernomor 197/TUA/IX/2003.
Anis menegaskan bahwa peristiwa Mei 1998 telah memenuhi unsur pelanggaran HAM berat sebagaimana diatur dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Sebagai tindak lanjut, pada tahun 2022, Presiden Joko Widodo mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 17 Tahun 2022 tentang pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu (Tim PPHAM). Laporan akhir tim tersebut diterima pada Januari 2023, yang kemudian direspons Presiden dengan mengakui 12 peristiwa pelanggaran HAM berat di masa lalu, termasuk tragedi Mei 1998.
Presiden juga menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 2 Tahun 2023 untuk memastikan pelaksanaan rekomendasi non-yudisial bagi para korban dan keluarga korban. Sebagai bentuk implementasi, pada 11 Desember 2023, korban dan keluarga korban peristiwa Mei 1998 mulai menerima layanan dari pemerintah pusat dan Pemprov DKI Jakarta.
Pernyataan ini sekaligus menjadi tanggapan atas pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang meragukan adanya bukti kuat terkait perkosaan massal dalam tragedi Mei 1998.
Anis menilai pernyataan tersebut keliru, mengingat negara sudah secara resmi mengakui adanya pelanggaran HAM berat termasuk kekerasan seksual dalam peristiwa tersebut, dan beberapa korban telah mendapatkan penanganan dari pemerintah.
Sebelumnya, Fadli Zon menyatakan bahwa dirinya mengecam segala bentuk kekerasan seksual, namun mempertanyakan validitas data mengenai perkosaan massal dalam kerusuhan 13–14 Mei 1998. Ia menyebut tidak ada bukti kuat atau data pendukung yang lengkap seperti nama korban, waktu kejadian, hingga identitas pelaku dalam laporan investigasi maupun hasil kerja Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) saat itu.
Meski begitu, Komnas HAM tetap berpegang pada hasil penyelidikan resmi dan fakta bahwa negara telah mengakui pelanggaran tersebut secara institusional. “Pernyataan yang menyatakan tidak ada perkosaan dalam kerusuhan Mei 1998 tidak tepat,” tegas Anis dikutip dari Antara.