Loading
Pimpinan Ombudsman RI Robert Na Endi Jaweng (ANTARA/HO-Humas Ombudsman Babel)
JAKARTA, ARAHKITA.COM - Kasus penolakan dan pemulangan paksa pasien peserta BPJS Kesehatan oleh rumah sakit kembali menjadi sorotan publik. Ombudsman Republik Indonesia (ORI) menyatakan bahwa tindakan tersebut merupakan bentuk maladministrasi dalam pelayanan kesehatan, yang berpotensi membahayakan keselamatan pasien.
Pernyataan ini disampaikan langsung oleh Anggota Ombudsman RI, Robert Na Endi Jaweng, dalam konferensi pers di Jakarta Selatan pada Selasa (10/6/2025). Menurutnya, rumah sakit tidak boleh menolak pasien, terutama dalam kondisi darurat, karena bertentangan dengan Pasal 174 Ayat (2) UU No. 17 Tahun 2023.
“Kami terus menerima laporan masyarakat terkait layanan darurat yang ditunda, rawat inap yang tidak diberikan tepat waktu, hingga praktik diskriminatif terhadap pasien BPJS. Akibatnya, banyak pasien dirugikan, bahkan ada yang sampai kehilangan nyawa,” ujarnya.
Baca juga:
Diduga Salahgunakan Wewenang, Alumni UTA ’45 Jakarta Somasi Ditjen AHU dan Adukan ke Ombudsman RI4 Langkah Perbaikan Layanan Pasien BPJS Kesehatan
Untuk memperbaiki kondisi ini, Ombudsman RI merekomendasikan beberapa langkah konkret yang perlu segera diambil oleh berbagai pihak, termasuk pemerintah, BPJS Kesehatan, dan fasilitas layanan kesehatan.
1. Penegakan Hukum oleh Pemerintah dan Pemda
Pemerintah pusat maupun daerah diminta untuk menindak tegas rumah sakit yang menolak pasien atau memulangkan pasien sebelum waktunya. Berdasarkan Permenkes No. 47 Tahun 2018, tidak ada alasan hukum yang membenarkan pemulangan pasien secara sepihak, termasuk dengan dalih kuota hari perawatan.
“Bahkan pasien dengan kondisi triase hijau tidak boleh dipulangkan, kecuali benar-benar sudah tidak memerlukan perawatan medis,” kata Robert.
2. Edukasi dan Komunikasi dari BPJS ke Rumah Sakit
BPJS Kesehatan diminta aktif mengedukasi rumah sakit mitra bahwa layanan gawat darurat ditanggung penuh oleh Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Masih banyak rumah sakit yang beralasan layanan darurat tidak ditanggung atau terganjal proses klaim. Padahal, Perpres No. 82 Tahun 2018 secara jelas mengatur cakupan kondisi gawat darurat.
3. Evaluasi Tenaga Medis dan SDM Kesehatan oleh Pemda
Pemda juga memiliki peran penting dalam menjamin kualitas tenaga medis. Mereka perlu melakukan evaluasi rutin terhadap kinerja SDM kesehatan, terutama dalam penanganan pasien gawat darurat. Langkah seperti audit rumah sakit, inspeksi mendadak, dan survei kepuasan pasien perlu dilakukan secara berkala.
4. Revisi Akreditasi Rumah Sakit Bermasalah
Komite Akreditasi Rumah Sakit (KARS) didorong untuk meninjau ulang akreditasi rumah sakit yang terbukti menolak pasien. Menurut Robert, rumah sakit dengan catatan buruk harus melakukan perbaikan terlebih dahulu sebelum dapat meningkatkan status akreditasinya. Kredibilitas layanan menjadi kunci utama kepercayaan publik.
“Akreditasi bukan hanya soal administrasi, tapi soal reputasi dan jaminan keselamatan pasien,” jelasnya dalam keterangan pers yang diterima media ini Senin (9/6/2025).
Masyarakat Diminta Laporkan Maladministrasi
Sebagai penutup, Robert mengajak masyarakat untuk berani melaporkan jika menemukan tindakan maladministrasi dalam pelayanan kesehatan. Ombudsman RI membuka kanal pengaduan resmi di tingkat pusat dan di seluruh 34 provinsi Indonesia.