Loading
Prof. Tjandra Yoga Aditama merupakan Direktur Pascasarjana Universitas YARSI dan Adjunct Professor di Griffith University, Australia. (Foto: Dok. Pribadi)
JAKARTA, ARAHKITA.COM — Bencana banjir yang melanda sejumlah wilayah di Indonesia tidak hanya menimbulkan kerusakan fisik dan sosial, tetapi juga membawa dampak serius terhadap sektor kesehatan masyarakat. Salah satu isu krusial yang kerap luput dari perhatian adalah penanganan tuberkulosis (TB) di wilayah terdampak bencana.
Menurut Prof. Tjandra Yoga Aditama, pakar kesehatan masyarakat dan penyakit menular, pengendalian TB harus tetap menjadi prioritas meski berada dalam situasi darurat. Ia menegaskan bahwa TB merupakan program strategis nasional yang tidak boleh terhenti, termasuk saat bencana alam terjadi.
“Pengendalian tuberkulosis adalah bagian penting dari agenda kesehatan nasional. Dalam situasi bencana seperti banjir, justru diperlukan upaya ekstra agar layanan TB tetap berjalan,” ujar Prof. Tjandra.
Pengendalian TB sendiri merupakan salah satu fokus pemerintah dalam kerangka Asta Cita, sehingga gangguan layanan akibat bencana berpotensi membawa dampak jangka panjang bila tidak segera diantisipasi. Setidaknya, terdapat lima tantangan utama dalam penanganan tuberkulosis di daerah terdampak banjir yang perlu menjadi perhatian bersama.
1. Keberlanjutan Konsumsi Obat Pasien TB
Pasien TB wajib mengonsumsi obat anti tuberkulosis (OAT) secara teratur selama minimal enam bulan tanpa terputus. Namun, dalam kondisi banjir, banyak pasien kesulitan mengakses puskesmas atau rumah sakit akibat rumah rusak, jalan terendam, hingga fasilitas kesehatan yang tidak berfungsi optimal.
Selain itu, gudang farmasi dan tempat penyimpanan obat kerap ikut terdampak, menyebabkan ketersediaan OAT menjadi terbatas. Distribusi obat ke daerah bencana pun sering terhambat karena jalur transportasi terputus. Jika tidak ditangani dengan cepat, kondisi ini berisiko menyebabkan putus obat dan kegagalan pengobatan.
2. Gangguan Proses Diagnosis
Diagnosis TB umumnya ditegakkan melalui Tes Cepat Molekuler (TCM). Dalam situasi banjir, tidak sedikit alat TCM yang rusak atau tidak dapat dioperasikan. Hal ini berdampak langsung pada keterlambatan penemuan kasus baru TB.
Meski pemeriksaan alternatif seperti foto rontgen dapat dilakukan, fasilitas radiologi dan ruang pemeriksaan juga sering terdampak banjir. Oleh karena itu, pemulihan sarana diagnosis menjadi langkah mendesak agar layanan TB tetap berjalan.
3. Meningkatnya Risiko Penularan di Pengungsian
Kondisi pengungsian yang padat, ventilasi terbatas, serta interaksi antarwarga yang intens meningkatkan risiko penularan TB, terutama bila terdapat pasien TB aktif yang belum terdeteksi atau belum menjalani pengobatan optimal. Situasi ini menjadikan pengungsian sebagai titik rawan penyebaran penyakit menular.
4. Penurunan Daya Tahan Tubuh
Bencana banjir kerap menurunkan daya tahan tubuh masyarakat akibat stres, kelelahan, serta keterbatasan akses terhadap pangan dan gizi. Dalam kondisi tersebut, kuman TB yang sebelumnya berada dalam kondisi laten (dorman) dapat kembali aktif dan memicu penyakit tuberkulosis dengan berbagai gejala.
5. Ketahanan Sistem Kesehatan
Pengendalian TB memerlukan sumber daya manusia, sarana-prasarana, serta sistem kerja yang solid. Bencana banjir menguji ketahanan sistem kesehatan daerah, sehingga dibutuhkan strategi resiliensi layanan kesehatan yang kuat dan berkelanjutan, setidaknya hingga beberapa bulan setelah bencana berlalu.
Prof. Tjandra Yoga Aditama merupakan Direktur Pascasarjana Universitas YARSI dan Adjunct Professor di Griffith University, Australia. Ia pernah menjabat sebagai Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara, Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit, serta Kepala Badan Litbang Kesehatan.
Atas dedikasinya di bidang kesehatan masyarakat, Prof. Tjandra menerima berbagai penghargaan, antara lain Rekor MURI (April 2024), Penghargaan Paramakarya Paramahusada 2024 dari PERSI, serta Penghargaan Achmad Bakrie XXI Tahun 2025.