Loading
Forum bisnis bertajuk Beyond Tomorrow: Strategi Tetap Bertumbuh dalam Pergolakan Ekonomi dan Prediksi Perekonomian ke Depan, yang digelar Kamajaya Business Club (KBC) di Nara Kupu Yogyakarta, Sabtu (11/10/2025), Yongky menyerukan pentingnya reformasi daya beli dan penciptaan lapangan kerja di tengah melemahnya konsumsi masyarakat. (Foto: Dok. KBC)
YOGYAKARTA, ARAHKITA.COM — Indonesia tengah memasuki masa yang disebut pakar ritel Yongky Surya Susilo sebagai “Dekade Kritis”—periode 2025 hingga 2035 yang akan menentukan apakah bangsa ini bisa melompat menjadi negara maju atau justru menua sebelum sejahtera (getting old before getting rich).
Dalam forum bisnis bertajuk “Beyond Tomorrow: Strategi Tetap Bertumbuh dalam Pergolakan Ekonomi dan Prediksi Perekonomian ke Depan”, yang digelar Kamajaya Business Club (KBC) di Nara Kupu Yogyakarta, Sabtu (11/10/2025), Yongky menyerukan pentingnya reformasi daya beli dan penciptaan lapangan kerja di tengah melemahnya konsumsi masyarakat.
“Bonus demografi akan mencapai titik balik antara 2030–2040. Kalau produktivitas dan inovasi tidak meningkat, pertumbuhan ekonomi bisa melambat,” ujar Yongky, yang juga Board Expert HIPPINDO dan konsultan strategi ritel nasional.
Tantangan Baru: Daya Beli Melemah, Konsumsi Menurun
Menurut data yang dipaparkannya, pertumbuhan sektor FMCG (Fast Moving Consumer Goods) pada kuartal II hanya naik 1% secara nilai, namun turun 3% secara volume. Ini menunjukkan bahwa masyarakat membeli lebih sedikit dan lebih jarang, tanda klasik melemahnya daya beli.
“Fenomena trading down makin nyata—konsumen beralih ke merek yang lebih murah, ukuran lebih kecil, dan belanja lebih jarang,” jelas Yongky.
Ia juga menyinggung gejala ROJALI (rombongan hanya lihat-lihat) dan ROHANA (rombongan hanya nanya) yang kini marak di pusat perbelanjaan. “Mal tetap ramai, tapi pengunjung lebih banyak mencari pengalaman, bukan berbelanja. Konsumsi bergeser dari barang ke hiburan dan kuliner,” tambahnya.
“Dekade Kritis” Butuh Aksi Nyata, Bukan Wacana
Forum yang berlangsung sejak pukul 13.00–18.00 WIB ini dipandu oleh Sekar Tyas Nareswari, Public Relations KBC sekaligus Founder Takon Pakar Edutainment. Sekar menyebut forum ini sebagai ruang refleksi dan sinergi antaralumni lintas generasi.
“Melalui Beyond Tomorrow, kita ingin para pelaku bisnis saling belajar dan berkolaborasi untuk menjawab perubahan besar yang sudah di depan mata,” ujarnya.
Sementara itu, Ketua KBC Fransiscus Go—pendiri GMT Property Management dan pemilik Nara Kupu Group—menekankan bahwa kelas menengah hanya bisa bertahan melalui kolaborasi.
“Kita tidak bisa terus menunggu kebijakan pemerintah. Dunia usaha harus proaktif menciptakan peluang dan memperkuat ekonomi riil,” tegas Frans.
Ia menambahkan, tren bisnis 2025 akan dipengaruhi oleh teknologi digital, ekonomi hijau, perubahan perilaku konsumen, dan ekonomi kreatif. Sektor yang dinilai paling prospektif mencakup UMKM digital, bisnis berbasis keberlanjutan, pendidikan digital, layanan kesehatan terpadu, hospitality & wellness lokal, fintech, properti cerdas, dan AI & otomasi.
Dunia Usaha Harus Jadi Motor Reformasi
Yongky menilai, upaya memperkuat daya beli harus dibarengi dengan reformasi kemudahan berusaha. “Potong izin, sederhanakan biaya, dan hentikan ekonomi berbiaya tinggi. Pajak dan tarif baru yang membebani konsumen justru bisa memperlambat pemulihan,” katanya.
Menurutnya, komunitas seperti KBC memiliki posisi strategis untuk menggerakkan sektor riil melalui kolaborasi, inovasi, dan penciptaan lapangan kerja baru.
“Kebijakan makro memang penting, tapi perubahan nyata datang dari para pelaku usaha. Di sinilah KBC bisa menjadi motor reformasi ekonomi,” tegasnya.
Inovasi, AI, dan Relevansi Bisnis
Dalam sesi panel yang dipandu Sekar, dua anggota KBC—William Mahardhika Darlius, pengusaha kuliner dan properti, serta Robertus Bellarmino Argha Nugrahanto, pendiri Enisa dan Adika Business & Legal Consultant—berbagi pengalaman menghadapi perubahan perilaku konsumen.
Keduanya sepakat bahwa bisnis ke depan akan bergantung pada adaptasi digital, pemanfaatan AI, dan kemampuan membaca arah tren konsumen.“Banyak bisnis bagus kehilangan relevansi bukan karena produknya jelek, tapi karena gagal membaca perilaku pasar,” ujar Sekar menambahkan.
Optimisme di Tengah Tantangan
Meski memaparkan tantangan berat, Yongky menutup sesi dengan nada optimistis.
“Masih ada sunshine after the storm. Tapi peluang itu bersyarat—kita harus bergerak cepat, berinovasi, dan memperbaiki sistem daya beli,” ujarnya.
Ia bahkan menyinggung pentingnya dukungan terhadap ajakan pemerintah dan tokoh ekonomi seperti Purbaya Menteri Keuangan yang mendorong generasi muda untuk “kaya bersama”.
Forum ditutup oleh Stevan Mandagi, ketua panitia, yang mengajak alumni untuk memperkuat jejaring bisnis dan memastikan bahwa usaha yang dijalankan hari ini tetap relevan untuk masa depan.
“Beyond Tomorrow bukan sekadar forum wacana, tapi gerakan nyata untuk beradaptasi dan berkolaborasi menghadapi era baru,” tutupnya.
Melalui forum ini, Kamajaya Business Club (KBC) menegaskan komitmen alumni Universitas Atma Jaya Yogyakarta untuk memperkuat daya beli masyarakat, membuka lapangan kerja baru, dan menyiapkan fondasi ekonomi yang tangguh menyongsong Dekade Kritis 2025–2035.