Loading
JAKARTA, ARAHKITA.COM - Tim pencari fakta untuk serangan gas Douma belum selesai merampungkan laporan, tetapi militer gabungan Amerika Serikat, Prancis dan Inggris dengan gegabah meluncurkan rudal jelajah Tomahawk ke Suriah hingga menghancurkan fasilitas publik dan menelan korban jiwa.
Keputusan tiga negara adidaya dunia itu bulat. Rezim diktator Bashar al-Assad di Suriah dinilai bertanggung jawab terhadap serangan gas mematikan di Douma awal April (7/4/2018), dan telah menyalahi kesepakatan dunia untuk berhenti menggunakan senjata kimia.
Presiden AS Donald Trump dalam pidatonya mengumumkan langsung serangan tersebut, diikuti dengan Perdana Menteri Inggris Theresa May dan Presiden Prancis Emmanuel Macron.
"Beberapa saat lalu, saya memerintahkan angkatan bersenjata AS untuk meluncurkan serangan ke sejumlah target yang terkait dengan pusat senjata kimia di bawah kendali diktaktor Suriah Bashar al-Assad. Operasi militer gabungan AS dengan Inggris dan Prancis saat ini tengah berlangsung. AS berterima kasih untuk dua negara tersebut,"ucap Trump dalam bagian awal pidatonya yang disiarkan Jumat malam (13/4/2018) waktu setempat.
Sementara itu, May turut mengumumkan serangan dengan berdalih, peluncuran rudal ke Suriah merupakan upaya untuk menghentikan aksi rezim Bashar al-Assad mengggunakan senjata kimia dalam tiap aksi militernya.
"Serangan gas mematikan telah menewaskan 75 orang di Douma Sabtu lalu, diantaranya adalah anak-anak. Namun, insiden itu tidak terlalu mengejutkan. Pemerintah Suriah kerap menggunakan senjata kimia untuk menyerang warga negaranya sendiri. Data intelijen kami mengindikasikan rezim di Suriah bertanggung jawab atas insiden tersebut," jelas May.
PM May berpendapat, penggunaan senjata kimia tidak dapat diteruskan, sehingga segala fasilitas yang menunjang penggunaannya harus segera dilumpuhkan.
Di waktu yang tidak berbeda jauh, Presiden Prancis Emmanuel Macron turut memberi keterangan senada mengenai motif peluncuran rudal ke Suriah.
"Puluhan pria, perempuan, dan anak-anak tewas mengenaskan karena senjata kimia, dan tentunya serangan itu merupakan pelanggaran terhadap resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa. (Pemerintah Prancis) tidak ragu bahwa insiden tersebut merupakan tanggung jawab rezim Suriah. Respon kami (serangan rudal) bertujuan untuk menghentikan produksi dan penggunaan senjata kimia oleh Suriah," tegas Macron.
Peluncuran rudal dari tiga negara anggota NATO itu telah melukai tiga warga sipil di Homs, dan menghancurkan pusat penelitian di Barzeh, berikut pusat pelatihan dan laboratorium.
Pemerintah Suriah melalui kantor berita SANA mengecam peluncuran rudal tersebut, mengatakan, militer AS, Inggris, dan Prancis telah melakukan agresi terhadap kedaulatan negara di bawah pimpinan Bashar al-Assad itu. Pasca peluncuran rudal pertama, pemerintah Suriah menegaskan pihaknya akan meluncurkan lebih banyak misil, sehingga agresi tiga negara tersebut akan gagal, demikian SANA melaporkan.
Paling menderita Jika dua kubu, yakni antara AS-Inggris-Prancis dengan Suriah-Rusia-Iran berikut para aliansinya saling berbalas misil, tentu warga sipil adalah korban yang paling menderita. Bahkan, bukan hanya masyarakat Suriah, warga dunia turut terancam "terseret" dalam konflik tersebut, apalagi jika aksi saling balas misil berujung pada perang antarnegara yang lebih luas.
Patut diingat kembali, memori kelam tentang Perang Dunia I dan Perang Dunia II tidak kunjung berakhir, walau telah berlalu puluhan tahun yang lalu. Kedua perang itu menempati bagian sejarah terburuk peradaban manusia, yang diawali oleh serangan gegabah satu pihak, dan diikuti dengan aksi balas dendam dari pihak lain.
Misalnya saja pada Perang Dunia II, tentara Jepang menjatuhkan bom ke Pearl Harbour. Beberapa saat setelahnya, AS dan tentara sekutu membalas dengan meluncurkan bom atom ke dua kota di Jepang, yaitu Hiroshima dan Nagasaki hingga menewaskan belasan ribu jiwa.
Jatuhnya bom atom ke dua kota tersebut memang menjadi awal mula Perang Dunia II berakhir.
Berkaca dari memori terpedih peradaban itu, apakah aksi koersif lagi-lagi menjadi pilihan untuk mengakhiri sebuah sengketa, dalam hal ini konflik bersenjata di Suriah? Tentu akan jadi tidak bijak bagi pemerintahan AS, Prancis, dan Inggris yang tetap membenarkan serangan rudal tersebut sebagai respon insiden gas mematikan yang diduga dilakukan Pemerintah Suriah.
Dalam pidatonya, ketiga pimpinan negara itu mengatakan bahwa serangan gas telah menewaskan banyak warga sipil, tetapi di sisi lain apakah Trump, Macron dan May tidak sadar bahwa rudal juga dapat melukai, menewaskan anak-anak dan warga sipil lainnya, bahkan melumpuhkan fasilitas publik seperti air, listrik, dan sekali lagi akan membuat hidup mereka kian sengsara.
Pelanggaran HAM Apa yang seharusnya dilakukan? Warga dunia tentu marah dan mengecam serangan gas mematikan di Douma, selain karena melanggar resolusi DK PBB, tetapi penggunaan senjata kimia merupakan salah satu aksi pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) paling brutal yang harus segera dihentikan.
Pasca serangan gas itu, tim pencari fakta (TPF) independen bentukan PBB langsung mengirim tim untuk menyelidiki penggunaan senjata kimia berikut pihak yang terlibat. Organisasi Pelarangan Senjata Kimia (OPCW) mengatakan tim pencari fakta telah tiba pada Kamis (12/4/2018) dan Jumat (13/4) di Suriah.
Pemerintah Suriah sendiri menyatakan kesiapannya untuk memfasilitasi seluruh kebutuhan tim pencari fakta selama melakukan penyelidikan. Pernyataan tersebut dikonfirmasi langsung oleh Duta Besar Suriah untuk PBB Bashar Jaafari.
Akan tetapi itikad baik pemerintah Suriah yang telah membuka pintu negaranya untuk para penyelidik independen pun ternyata tidak diikuti dengan sikap bijak AS, Prancis, dan Inggris yang lebih memilih langsung meluncurkan rudal berdasarkan "indikasi" data intelijen.
Di tengah investigasi yang masih berlangsung, rudal diluncurkan ke sejumlah fasilitas publik di Suriah.
Jika kubu AS, Inggris, dan Prancis tidak segera mengendalikan diri menanti laporan tim pencari fakta, publik dapat menilai ketiganya bersama pihak yang dituduh, sama-sama melanggar hukum internasional, dan menyalahi deklarasi universal Hak Asasi Manusia, karena telah mengorbankan banyak warga sipil dan membuat hidup mereka kian menderita berkat aksi saling balas tembak misil.
Dulu, seorang pegiat perdamaian asal India Mahatma Gandhi telah berulang kali mengingatkan, "mata dibayar mata, maka dunia akan menjadi buta". Agaknya penting bagi kita semua untuk merenungkan baik-baik pesan tersebut, khususnya di tengah konflik bersenjata yang bukannya dapat dipadamkan, justru menjadi kian panas. (Genta Tenri Mawangi/Pumpunan Antara)