Loading
PLTN Kashiwazaki-Kariwa milik Tepco di Prefektur Niigata. (Foto: The Yomiuri Shimbun/AP Images/picture alliance)
NIIGATA, ARAHKITA.COM — Jepang bersiap memasuki babak baru kebijakan energinya. Pemerintah Prefektur Niigata dijadwalkan mengambil keputusan penting terkait rencana pengaktifan kembali Pembangkit Listrik Kashiwazaki-Kariwa, pembangkit nuklir terbesar di dunia, sekitar 15 tahun setelah tragedi Fukushima Daiichi mengguncang negeri Sakura.
Pembangkit yang berjarak sekitar 220 kilometer dari Tokyo ini sempat ditutup bersama puluhan reaktor lain pasca gempa bumi dan tsunami dahsyat 2011. Bencana tersebut memicu krisis nuklir terburuk dunia sejak Chernobyl dan mengubah total arah kebijakan energi Jepang.
Kini, seiring kebutuhan energi yang kian meningkat dan tekanan untuk mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil impor, Jepang mulai kembali melirik tenaga nuklir sebagai solusi jangka panjang.
Langkah Besar TEPCO Pasca Tragedi
Jika mendapat lampu hijau dari pemerintah daerah, operator Tokyo Electric Power Company (TEPCO) berencana mengaktifkan satu dari tujuh reaktor di kompleks Kashiwazaki-Kariwa mulai awal tahun depan. Ini akan menjadi reaktor pertama yang dioperasikan kembali oleh TEPCO sejak insiden Fukushima.
Perusahaan listrik raksasa tersebut menegaskan komitmennya untuk meningkatkan standar keselamatan. “Kami bertekad memastikan kecelakaan serupa tidak pernah terulang dan warga Niigata tidak mengalami trauma yang sama,” ujar juru bicara TEPCO, Masakatsu Takata.
Penolakan Publik Masih Menguat
Meski demikian, resistensi dari masyarakat lokal masih terasa kuat. Survei pemerintah prefektur pada Oktober lalu menunjukkan sekitar 60 persen warga menilai syarat keselamatan reaktor belum sepenuhnya terpenuhi. Kekhawatiran terbesar tertuju pada rekam jejak TEPCO sebagai operator.
Salah satu suara penentang datang dari Ayako Oga, warga Niigata yang merupakan penyintas krisis Fukushima. Ia termasuk ribuan orang yang terpaksa meninggalkan rumah akibat zona radiasi. Kini, ia aktif menolak pengoperasian kembali pembangkit nuklir.
“Kami sudah belajar dari pengalaman pahit. Risiko kecelakaan nuklir tidak bisa dianggap remeh,” ujarnya, seraya mengaku masih mengalami trauma psikologis hingga kini.
Bahkan Gubernur Niigata Hideyo Hanazumi, meski mendukung reaktivasi, menyatakan harapannya agar Jepang suatu hari bisa beralih ke sumber energi yang tidak menimbulkan kecemasan publik.
Energi Nuklir dan Strategi Keamanan Nasional
Pemungutan suara di parlemen prefektur Niigata dipandang sebagai rintangan terakhir sebelum reaktor diaktifkan. Kementerian Perdagangan Jepang memperkirakan langkah ini dapat menambah pasokan listrik wilayah Tokyo hingga dua persen.
Perdana Menteri Sanae Takaichi secara terbuka mendorong kebangkitan energi nuklir. Alasannya, biaya impor gas alam cair dan batu bara telah membebani perekonomian, menyumbang hingga 70 persen pembangkit listrik nasional.
Di sisi lain, kebutuhan energi Jepang diperkirakan terus meningkat, terutama akibat pertumbuhan pusat data berbasis kecerdasan buatan (AI) yang sangat boros listrik. Pemerintah pun menargetkan porsi energi nuklir mencapai 20 persen dari bauran listrik nasional pada 2040.
Menurut Joshua Ngu dari Wood Mackenzie, penerimaan publik terhadap pengoperasian Kashiwazaki-Kariwa akan menjadi tonggak krusial dalam transisi energi Jepang.
Antara Harapan dan Trauma Lama
Namun bagi sebagian warga, kebangkitan kembali energi nuklir bukan sekadar isu teknis, melainkan soal luka lama yang belum sepenuhnya sembuh. Aksi protes direncanakan digelar bertepatan dengan pemungutan suara parlemen.
“Setiap kali mendengar kabar reaktor akan diaktifkan lagi, rasa takut itu seolah kembali hidup,” kata Oga dilansir dari asahi.com
Keputusan Niigata bukan hanya akan menentukan masa depan satu pembangkit listrik, tetapi juga arah kebijakan energi Jepang di tengah dilema antara keamanan pasokan, target dekarbonisasi, dan kepercayaan publik.