Loading
Pendiri Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) Dino Patti Djalal dalam Conference on Indonesian Foreign Policy (CIFP) 2025 di Jakarta, Sabtu (29/11/2025). ANTARA/Kuntum Riswan.
JAKARTA, ARAHKITA.COM — Pendiri Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI), Dino Patti Djalal, mengingatkan bahwa dunia saat ini tengah bergerak menuju fase baru dalam dinamika internasional. Perubahan tersebut tidak bisa hanya disaksikan, melainkan perlu direspon dengan langkah strategis — terutama oleh Indonesia.
Saat membuka Conference on Indonesian Foreign Policy (CIFP) 2025 di Jakarta, Sabtu (29/11/2025), Dino menyebut perubahan global ini sebagai "Next World Order", sebuah fase baru yang tidak sepenuhnya meniadakan tatanan lama, namun membentuk struktur baru di atas fondasi yang masih bertahan.
“Tatanan dunia berikutnya telah berada di depan mata. Banyak hal lama yang tetap ada, namun dunia mulai bergerak pada arsitektur baru,” ujarnya.
Menurut mantan Duta Besar RI untuk Amerika Serikat itu, tatanan dunia baru tidak berarti menggusur sistem yang telah ada. Lembaga seperti PBB, ASEAN, Piagam PBB, Konvensi Jenewa, dan NKRI tetap menjadi elemen penting dalam sistem tata kelola global.
Empat Faktor Utama Terjadinya Next World Order
Dino memaparkan sedikitnya empat alasan yang mendorong terbentuknya tatanan dunia baru:
Dino juga menyoroti BRICS yang kini menyalip G7 dalam total PDB berbasis PPP, mencapai 40% berbanding 28% — celah yang diprediksi akan terus melebar. Kondisi ini menandakan bahwa pusat gravitasi ekonomi dunia tak lagi tunggal.
Saatnya Indonesia Tidak Hanya Menonton
Melihat perubahan cepat tersebut, ia menilai Indonesia justru memiliki peluang strategis untuk tampil sebagai arsitek tatanan global berikutnya.
“Diplomasi Indonesia kuat karena gagasan dan idealisme. Sebagai anggota G20 dan salah satu penggerak ASEAN, ini adalah waktu terbaik bagi Indonesia untuk ikut merancang masa depan dunia,” tegasnya dikutip Antara.
Dengan modal diplomasi yang solid, rekam jejak dalam forum multilateral, serta posisi geostrategis yang diperhitungkan, Indonesia dinilai bukan hanya peserta perubahan — tetapi layak menjadi salah satu pembentuknya.