Loading
Bendera Iran berkibar di PLTN Bushehr Iran pada tahun 2019. Teheran menyatakan program tenaga nuklirnya berfokus pada energi dan sipil. (Foto: Atta Kenare/AFP/Getty Images/The Guardian)
TEHERAN, ARAHKITA.COM – Setelah satu dekade berjalan, Iran resmi menyatakan berakhirnya perjanjian nuklir tahun 2015 yang sempat membuka harapan perdamaian global. Kesepakatan yang dikenal sebagai Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) itu awalnya dibuat untuk membatasi program nuklir Iran dengan imbalan pencabutan sanksi internasional.
Dalam pernyataan resminya pada Sabtu (18/10/2025), Kementerian Luar Negeri Iran menegaskan bahwa “seluruh ketentuan dalam kesepakatan 2015, termasuk pembatasan program nuklir dan mekanisme pengawasan internasional, kini dianggap berakhir.” Meski begitu, Teheran menyebut masih “berkomitmen pada jalur diplomasi” untuk menjaga stabilitas kawasan.
Latar Belakang: Dari Harapan ke Ketegangan
Kesepakatan JCPOA ditandatangani di Wina pada Juli 2015 oleh Iran bersama China, Rusia, Inggris, Prancis, Jerman, dan Amerika Serikat. Dunia sempat menyambutnya sebagai langkah besar menuju stabilitas Timur Tengah. Namun, harapan itu mulai memudar pada 2018 ketika Presiden AS Donald Trump secara sepihak menarik diri dari perjanjian dan kembali menjatuhkan sanksi berat terhadap Teheran.
Langkah Trump dianggap melemahkan posisi diplomasi Eropa dan memicu Iran untuk melanjutkan pengayaan uranium di luar batas yang disepakati. Sejak saat itu, hubungan Iran dan Barat kembali memburuk, diiringi meningkatnya ketegangan militer dan sanksi ekonomi baru.
Sanksi PBB Kembali Berlaku
Menjelang berakhirnya masa 10 tahun JCPOA, parlemen Iran sempat meloloskan undang-undang yang menolak kerja sama dengan Badan Energi Atom Internasional (IAEA). Langkah tersebut memicu mekanisme “snapback” — penerapan kembali sanksi PBB secara otomatis terhadap Iran.
Ketentuan ini diaktifkan oleh Inggris, Prancis, dan Jerman setelah menilai Teheran melanggar komitmen nuklirnya. Artinya, seluruh sanksi internasional yang sebelumnya dicabut kini resmi diberlakukan kembali mulai 18 Oktober 2025 — bertepatan dengan apa yang disebut “hari berakhirnya” JCPOA.
Barat Masih Dorong Jalur Diplomasi
Meski situasi tampak memburuk, sejumlah negara Eropa masih berharap pintu diplomasi belum tertutup sepenuhnya. Menteri luar negeri Inggris, Prancis, dan Jerman dalam pernyataan bersama bulan lalu menegaskan komitmen mereka untuk mencari “solusi baru agar Iran tidak pernah memiliki senjata nuklir.”
Diplomat tertinggi Uni Eropa, Kaja Kallas, juga menekankan bahwa “sanksi bukanlah akhir dari diplomasi,” sembari menyerukan negosiasi sebagai satu-satunya jalan untuk penyelesaian damai.
Sementara itu, Donald Trump yang kini kembali menjadi figur politik berpengaruh di AS, sempat menyatakan keinginannya untuk “mencapai kesepakatan damai baru” dengan Iran — meski Teheran menegaskan tidak akan bernegosiasi tanpa jaminan atas keamanan dan kedaulatan negaranya.
Iran Tetap Menolak Tuduhan Barat
Selama bertahun-tahun, Amerika Serikat dan Israel menuduh Iran mengembangkan senjata nuklir secara diam-diam. Namun, Teheran berulang kali membantah tudingan tersebut, menegaskan bahwa program nuklirnya hanya untuk tujuan energi dan penelitian sipil.
“Tidak ada alasan bagi Iran untuk kembali bernegosiasi dengan pihak-pihak yang telah melanggar kesepakatan,” tegas diplomat senior Iran, Abbas Araghchi, pekan lalu dikutip Antara.
Babak Baru Politik Timur Tengah
Berakhirnya perjanjian nuklir 2015 menandai babak baru dalam dinamika geopolitik Timur Tengah. Dengan sanksi yang kembali diberlakukan dan hubungan diplomatik yang retak, masa depan dialog Iran dengan Barat kini dipertanyakan.
Iran dijadwalkan akan menyampaikan pernyataan resmi di markas besar PBB, New York, sebagai penutup dari satu dekade kesepakatan yang pernah dianggap tonggak sejarah diplomasi dunia.