Loading
Sejak 7 Oktober 2023, Amerika Serikat (AS) telah menghabiskan lebih dari 22 miliar dolar AS (sekitar Rp356,7 triliun) untuk mendukung operasi militer Israel, termasuk di Gaza, Lebanon, dan Suriah. ANTARA/Anadolu/py
GAZA, ARAHKITA.COM – Pasukan Amerika Serikat (AS) mulai menempati pangkalan militer Israel pada Minggu (12/10) untuk memantau pelaksanaan kesepakatan gencatan senjata di Jalur Gaza, Palestina. Langkah ini menjadi bagian dari upaya internasional memastikan perdamaian tahap awal antara Israel dan Hamas benar-benar berjalan sesuai kesepakatan.
Menurut laporan Kanal 12 Israel, sekitar 200 personel militer AS akan ditempatkan di Pangkalan Udara Hatzor, di wilayah selatan Israel. Mereka tergabung dalam satuan tugas pemantau gencatan senjata yang dibentuk khusus untuk mengawasi pelaksanaan perjanjian tersebut. Hingga kini, baik otoritas AS maupun Israel belum memberikan konfirmasi resmi terkait penempatan tersebut.
Seorang pejabat keamanan Israel menyebut bahwa penarikan lebih lanjut pasukan Israel dari Gaza belum dibahas secara formal. Namun, sumber lain mengatakan utusan khusus Presiden AS Donald Trump, Steve Witkoff, telah mulai menyusun peta jalan penarikan pasukan bersama Komando Pusat AS (CENTCOM) dan pihak Israel.
Dalam unggahan di media sosial X, Witkoff menyebut dirinya bersama Laksamana Bradley Cooper dari CENTCOM dan Jared Kushner—menantu Trump—mengunjungi Gaza untuk memverifikasi kepatuhan Israel terhadap Fase I kesepakatan gencatan senjata.
Media Israel juga melaporkan bahwa kunjungan Witkoff dilakukan untuk meninjau lokasi penempatan Pasukan Multinasional, yang nantinya akan terdiri dari tentara negara-negara Islam, Arab, dan Eropa. Pasukan ini direncanakan bertugas di antara kawasan perkotaan yang ditinggalkan pasukan Israel dan perbatasan Gaza-Israel.
“Sesuai kesepakatan, pasukan Israel tidak akan menarik diri lebih jauh sampai Pasukan Stabilisasi Internasional memasuki Gaza,” tulis Kanal 12. Pengerahan pasukan ini diperkirakan memakan waktu beberapa pekan ke depan.
Pembentukan pasukan internasional tersebut menjadi salah satu agenda utama KTT Perdamaian Sharm el-Sheikh di Mesir pada Senin mendatang. Pertemuan yang akan dipimpin Presiden Mesir Abdel Fattah al-Sisi dan Donald Trump ini akan dihadiri lebih dari 20 negara, termasuk perwakilan dari Eropa dan Timur Tengah.
Dalam pernyataan resmi Kepresidenan Mesir, KTT ini bertujuan mengakhiri perang di Gaza, memperkuat stabilitas kawasan, serta membuka babak baru bagi keamanan regional. Negara-negara Arab disebut tengah mendorong Dewan Keamanan PBB agar memberikan mandat resmi bagi pasukan internasional tersebut. Namun, Israel menolak ide ini karena dinilai dapat membatasi ruang gerak militernya.
Sebelumnya, pada Rabu lalu, Trump mengumumkan bahwa Israel dan Hamas telah menyepakati fase pertama dari rencana perdamaian 20 poin yang diajukan pada 29 September. Fase pertama mencakup gencatan senjata penuh, pembebasan seluruh sandera Israel dengan imbalan sekitar 2.000 tahanan Palestina, serta penarikan bertahap pasukan Israel dari Gaza.
Fase kedua akan mencakup pembentukan pemerintahan baru di Gaza tanpa Hamas, pembentukan pasukan multinasional, dan perlucutan senjata militer Hamas dikutip Antara.
Sejak pecahnya perang pada Oktober 2023, lebih dari 67.600 warga Palestina tewas, sebagian besar perempuan dan anak-anak. Serangan berkelanjutan Israel, yang mendapat dukungan logistik dan militer dari AS, telah membuat Gaza nyaris tak layak huni.
Langkah pengawasan dari pasukan AS ini diharapkan menjadi awal baru menuju proses perdamaian yang berkelanjutan, meskipun skeptisisme masih tinggi terhadap implementasi kesepakatan di lapangan.