Loading
Polisi Prancis dikerahkan di sekitar Place du Chatelet saat terjadi aksi unjuk rasa di Paris, Prancis, Rabu (10/9/2025). Aksi tersebut merupakan bagian dari gerakan protes Bloquons tout (Mari kita blokir semuanya) yang berniat menentang kebijakan pemerintahan Presiden Prancis Emmanuel Macron. ANTARA FOTO/Xinhua/Aurelien Morissard/nym.
JAKARTA, ARAHKITA.COM – Prancis kembali diguncang aksi unjuk rasa besar-besaran terkait kebijakan pensiun dan isu daya beli. Lebih dari satu juta orang turun ke jalan pada Kamis (18/9/2025), menjadikannya salah satu mobilisasi terbesar dalam beberapa tahun terakhir.
Kementerian Dalam Negeri Prancis melaporkan sedikitnya 309 orang ditangkap, dengan 134 di antaranya ditahan karena dugaan kekerasan, perusakan fasilitas publik, serta mengikuti pawai tanpa izin. Insiden ini juga menyebabkan tujuh polisi, sepuluh demonstran, dan seorang jurnalis terluka.
Meski jumlah massa membludak, Menteri Dalam Negeri Bruno Retailleau menegaskan bahwa Prancis "tidak lumpuh." Ia mengakui adanya lebih dari 7.300 individu yang dianggap teradikalisasi, namun tetap menekankan situasi masih terkendali.
Sementara itu, serikat pekerja CGT mengklaim aksi ini sukses besar dengan partisipasi mencapai lebih dari sejuta orang, jauh di atas catatan resmi pemerintah yang hanya menyebut sekitar 500 ribu demonstran. Serikat pekerja menyebut mobilisasi ini sebagai “kemenangan moral” dan berencana bertemu Perdana Menteri baru, Sebastien Lecornu, dalam waktu dekat untuk membicarakan tuntutan buruh.
Lecornu, yang baru saja ditunjuk Presiden Emmanuel Macron menggantikan François Bayrou, mengecam keras tindakan kekerasan dalam protes tersebut. Namun, ia juga menegaskan bahwa aspirasi pekerja akan tetap menjadi bagian penting dari konsultasi politik dan ekonomi yang sedang berlangsung dilansir Antara.
Aksi besar ini berlangsung hanya sepekan setelah gerakan “Block Everything” (Blokir Semua) yang melibatkan hampir 200 ribu orang. Ketegangan politik di Prancis semakin meningkat sejak kekalahan Bayrou dalam mosi tidak percaya di Majelis Nasional awal September.
Bayrou sebelumnya mendorong rencana penghematan sebesar 44 miliar euro (sekitar Rp860 triliun) untuk mengurangi lonjakan utang publik Prancis yang sudah mencapai 113 persen dari PDB. Kini, beban itu beralih ke Lecornu yang harus meramu strategi politik sekaligus menjembatani keresahan rakyat.
Dengan defisit anggaran sebesar 5,8 persen dari PDB, salah satu yang tertinggi di Uni Eropa, Prancis menghadapi tantangan berat: menjaga stabilitas ekonomi sekaligus meredakan ketegangan sosial yang terus membara.