Selasa, 30 Desember 2025

Putusan Sela PTUN Jakarta untuk Kubu Daryatmo dan Sudding Hanya Macan Ompong


 Putusan Sela PTUN Jakarta untuk Kubu Daryatmo dan Sudding Hanya Macan Ompong Kuasa Hukum DPP Partai Hanura selaku Tergugat Intervensi, Petrus Selestinus, SH. (Istimewa)

JAKARTA, ARAHKITA.COM - Pengadilan Tata Usaha Negara/PTUN Jakarta, pada tanggal 19 Maret 2018, telah mengeluarkan Putusan "sela" dalam perkara Gugatan TUN antara Daryatmo dan Sudding, sebagai Pengugat melawan Menteri Hukum dan HAM RI sebagai Tergugat.

Adapun isi Putusan Sela dimaksud berupa "mewajibkan Menteri Hukum dan HAM RI untuk menunda pelaksanaan Keputusan Menkum HAM RI Nomor: M.HH-01.AH.11.01 TAHUN 2018, Tentang Restrukturisasi, Reposisi dan Revitalisasi Pengurus Dewan Pimpinan Puat Partai Hanura Masa Bhakti 2015-2023, Tanggal 17 Januari 2018.

Apabila kita cermati prosedur dikeluarkannya SK. Menkum HAM RI Nomor: M.HH-01.AH.11.01 TAHUN 2018, Tanggal 17 Januari 2018 dan substansinya, maka SK. Menkum HAM itu dikeluarkan dengan sangat hati-hati, terlebih-lebih harus disertai dengan Lampiran Surat Keterangan dari Dewan Kehormatan/DK selaku Mahkamah Partai Hanura, bahwa DK Partai Hanura tidak sedang menangani pengaduan tentang Perselisihan Kepengurusan, setidak-tidaknya tidak ada pengaduan dari Sdr Sarifuddin Sudding dkk.

Sedangkan dari segi substansinya, SK. Menkum HAM dimaksud hanya berisi "mengesahkan" Restrukturisasi, Reposisi dan Revitalisasi Kepengurusan DPP Partai Hanura, sesuai dengan AD, ART dan Peraturan Organisasi Partai Hanura.

Hal tersebut disampaikan Kuasa Hukum DPP Partai Hanura selaku Tergugat Intervensi, Petrus Selestinus, SH kepada redaksi arahkita.com, Sabtu (7/4/2018) malam.

"Menkum HAM RI setelah meneliti seluruh kelengkapan persyaratan yang diajukan DPP Partai Hanura untuk mendapatkan pengesahan, maka sesuai dengan ketentuan pasal 23 UU No. 2 Tahun 2011, Tenggang Partai Politik, dengan sendirinya Menkum HAM wajib mengeluarkan SK. yang isinya mengesahkan apa yang sudah diputuskan dan dilaksanakan oleh DPP.

Partai Hanura sesuai AD, ART dan Peraturan Organisasi Partai dan perintah UU Partai Pokitik yang memberi wewenang kepada Menkum HAM untuk melaksanakan UU Partai Politik, yaitu dengan dikeluarkanlah SK. Menkum HAM pada tanggal 17 Januari 2018,"ungkap Petrus.

Sampai di sini menurut Petrus, tugas Menkum HAM RI sudah selesai, karena SK. Menkum HAM itu bersifat einmaligh, tidak ada lagi tindakan lain dari Menkum HAM yang diperlukan oleh DPP Partai Hanura dan tidak adalagi wewenang lain yang diberikan oleh UU Partai Politik pasca dikelurkannya SK dimaksud.

"Apa urgensinya Majelis Hakim mewajibkan Menkum HAM RI untuk menunda pelaksanaan Keputusannya itu, bukankah SK Menkum HAM dimaksud sudah keluar, sah dan mengikat publik serta tidak ada lagi yang perlu dilaksanakan oleh Menkum HAM RI," tanya Petrus.

Tidak adanya diktum lain dalam SK Menkum HAM itu yang bersifat perintah untuk melaksanakan sesuatu ke depan kata Petrus berimplikasi hukum kepada Putusan Sela Majelis Hakim dimaksud menjadi tidak memiliki kekuatan eksekutorial alias non eksekutable.

Menkum HAM RI menurut Petrus tidak punya wewenang untuk melaksanakan apapun lagi pasca dikeluarkannya SK. Menkum HAM RI yang "mengesahkan" Restrukturisasi, Reposisi dan Revitalisasi Kepengurusan DPP Partai Hanura pimpinan Dr. Oesman Sapta, sebagai Ketua Umum dan Herry Lontung Siregar, sebagai Sekretaris Jenderal.

"Dengan demikian Menkum HAM RI beralasan hukum untuk tidak melaksanakan isi Putusan Sela Majelis Hakim PTUN Jakarta dimaksud, karena tanpa diwajibkan oleh Putusan Sela-pun, kewajiban Menkum HAM RI telah tiada, apalagi sifat dari SK. Menkum HAM dimaksud hanya bersifat "einmalig" (sekali dikeluarkan dan berlaku) dan bersifat deklaratif (menyatakan keabsahan),"tegas Petrus.

Majelis Hakim PTUN Jakarta dalam Putusan Selanya-pun kata Petrus sama sekali tidak mewajibkan DPP Partai Hanura untuk menunda pelaksanaan SK Menkum HAM yang digugat, karenanya aktivitas Kepartaian atas nama Partai HANURA yang dijalankan oleh Dr Oesman Sapta sebagai Ketua Umum dan Herry Lontung Siregar sebagai Sekjen DPP Partai Hanura tetap berlangsung diakui dan diterima tidak saja oleh Menteri Hukum dan HAM RI akan tetapi juga oleh KPU RI dan pimpinan Lembaga Tinggi Negara lainnya, tanpa hambatan apapun, satu dan lain oleh karena keabsahan SK Menkum HAM RI yang digugat tidak dibatalkan oleh PTUN Jakarta.

"Dengan demikian apa yang sering diumbar ke publik oleh Daryatmo dan Sarifuddin Sudding, bahwa dirinyalah yang sah, jelas sebagai sesuatu yang menyesatkan publik, bahkan dapat dikategorikan sebagai telah memanipulasi fakta-fakta yang mengandung kebenaran formil dan materil, bahkan sabagi kebohongan publik,"kata Petrus.

Ketidakmampuan dan ketidakpahaman dalam membaca dan memahami substansi Putusan Sela kata Petrus telah membawa Daryatmo dan Sarifuddin Sudding sebagai layang-layang putus, dimana segelintir Kader Partai Hanura terkecoh dan menjadi loyalisnya.

"Sekali lagi Putusan Sela Hakim PTUN Jakarta hanya ditujukan kepada Menkum HAM dan tidak ditujukan kepada DPP Partai Hanura, karenanya Ketua Umum Dr. Oesman Sapta dan Sekjen Herry Lontung Siregar, tetap eksis memimpin Partai Hanura tanpa hambatan apapun, termasuk membawa Partai HANURA menjadi peserta Pemilu 2019.

Dikatakan Petrus, meskipun Daryatmo dan Sudding sering "mendeclare" diri sebagai Ketua Umum dan Sekjen DPP Partai Hanura yang sah dan tanpa malu malu melakukan anjang sana ke sejumlah pimpinan Lembaga Tingi Negara, akan tetapi kenyataannya hingga saat ini Kepengurusan DPP Partai Hanura yang dibentuk oleh Daryatmo dan Sarifuddin Sudding melalui forum kumpul-kumpul di Bambu Apus, tidak pernah disahkan dan tidak akan pernah disahkan oleh Menkum HAM RI, selain karena pembentukannya tidak berdasarkan AD dan ART Partai HANURA dan UU Partai Politik, juga Menkum HAM RI tunduk dan terikat pada ketentuan pasal 26 Undang-Undang No. 2 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas UU No. 2 Tahun 2008, Tentang Partai Politik yang secara tegas tidak mengakui dualisme Kepengursan dalam Partai Politik.

"Putusan Sela ini hanya sekedar penglipur lara, sekedar memberi hiburan sejenak buat Daryatmo dan Sudding, karena pada kenyataannya terdapat 5 (lima) hal mendasar yang berimplikasi membawa Daryatmo dan Sarifuddin Sudding, segera mengakhiri petualangannya,"kata Petrus

Kelima hal mendasar tersebut yaitu :a. Daryatmo dan Sarifuddin Sudding tidak memiliki legal standing mewakili DPP. PARTAI HANURA yang SK. Menteri Hukum dan HAM RI-nya sedang digugat;b. SK. Menkum HAM RI yang digugat hanya bersifat deklaratif tanpa ada diktum yang bersifat perintah untuk melaksanakan sesuatu, sehingga Putusan Sela Majelis Hakim PTUN Jakarta, menjadi mubasir dan non eksekutable;c. Putusan Sela Majelis Hakim PTUN Jakarta, hanya ditujukan kepada Menteri Hukum dan HAM RI, karenanya DPP. PARTAI HANURA tetap sah dan eksis menjalankan fungsi-fungsi Partai HANURA;d. Putusan Sela Majelis Hakim PTUN Jakarta hanya berlaku ke depan alias tidak berlaku mundur; dane. Kepengurusan Daryatmo dan Sarifuddin Sudding terhalang oleh dan menjadi cacad hukum karena larangan ketentuan pasal 26 UU Partai Politik No.m2 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas UU No. 2 Tahun 2008, Tentang Partai Politik yangbtidak mengakui Kepengurusan Ganda Partai Politik.

 

Editor : Farida Denura

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

Hukum & Kriminalitas Terbaru