Loading
Ahli waris usai menyampaikan pengaduan kepada Gubernur Jabar Dedi Mulyadi, foto bersama Tim Advokasi yang dipimpin Robert B. Keytimu, S.H di Pos Pengaduan Lembur Pakuan, Subang, Jawa Barat, Rabu (29/10/2025). (Foto: Istimewa)
SUBANG, ARAHKITA.COM — Perjuangan panjang warga Cibinong untuk merebut kembali tanah adat leluhur mereka belum berakhir. Setelah puluhan tahun tanpa kejelasan, puluhan warga yang tergabung dalam Paguyuban Ahli Waris Tanah Adat Cibinong kini kembali menuntut hak atas lahan yang diklaim telah digunakan oleh pemerintah sejak era 1970-an tanpa ganti rugi.
Pada Minggu (26/10/2025), mereka menggelar pertemuan persiapan di kawasan Cibinong, Bogor. Hadir di sana Ketua Paguyuban, Drs. H. Eddy Rosidi, Sekretaris Paguyuban, H. Abdul Mufid, serta Tim Advokasi yang dipimpin Robert B. Keytimu, S.H.
Mereka sepakat melanjutkan langkah audiensi dengan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi pada Rabu (29/10/2025) untuk memperjuangkan hak mereka atas tanah adat yang kini berada di bawah penguasaan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) — yang sebelumnya merupakan kompleks LIPI Cibinong.
Baca juga:
Wajib Militer Dedi Mulyadi bagi Anak Sekolah Bermasalah, Berseberangan dengan Konsep Pedagogi“Kami hanya menuntut hak yang sah. Tanah ini milik leluhur kami dan telah digunakan pemerintah sejak lama tanpa pernah dibayarkan,” — ujar H. Eddy Rosidi, Ketua Paguyuban, dalam pertemuan tersebut.
Langkah Damai Mencari Keadilan
Tanah yang menjadi sumber sengketa itu berada di wilayah Kelurahan Nanggewer Mekar dan Cibinong, Kabupaten Bogor, dengan luas mencapai sekitar 189 hektare. Berdasarkan catatan paguyuban, lahan tersebut telah dikuasai secara turun-temurun oleh warga sejak sebelum Indonesia merdeka.
Namun, sejak awal 1960-an, kepemilikan warga mulai tergeser setelah surat girik dan dokumen tanah mereka dikumpulkan aparat desa atas perintah penguasa wilayah. Sebagian dokumen bahkan dirampas dan dimusnahkan.
Pembangunan di atas lahan tersebut terus berjalan hingga akhirnya berubah menjadi kawasan penelitian. Warga menegaskan, tidak pernah ada proses pembebasan atau ganti rugi yang sah sesuai hukum. Mereka pun hanya bisa pasrah, bekerja sebagai buruh di atas tanah yang dulunya milik keluarga mereka sendiri.
“Kami sudah berulang kali mengadu — ke Bupati, DPRD, BPN, sampai kementerian. Tapi hasilnya selalu janji tanpa realisasi,”tutur H. Abdul Mufid, Sekretaris Paguyuban.
Mengadu ke Lembur Pakuan
Rencana audiensi warga dengan Gubernur Jawa Barat sempat berubah karena padatnya jadwal sang Gubernur. Alih-alih bertemu langsung di Bandung, rombongan warga akhirnya mendatangi Pos Pengaduan Lembur Pakuan di Subang, Jawa Barat, tempat masyarakat bisa menyampaikan aspirasi langsung kepada gubernur.
Rombongan diterima oleh tim Gubernur Jawa Barat dan berkesempatan berbicara langsung dengan Dedi Mulyadi melalui sambungan video call.
Usai mengadu beberapa ahli waris seperti H Edy Rosidi, H Mufid, Ibu Isak, Yana, Halim,Toni meminta Gubernur Dedi Mulyadi dapat membantu menyelesaikan sengketa ini.
Menurut Honing Sanny, salah satu anggota tim hukum yang mendampingi warga, perjuangan ini diikuti 518 ahli waris dari generasi pertama hingga ketiga. Beberapa di antaranya bahkan sudah berusia di atas 80 tahun.
“Kami datang bukan untuk melawan, tapi mencari keadilan. Kami percaya Kang Dedi bisa membantu sebagai pemimpin yang berpihak pada rakyat,” ujar Honing.
Ia menambahkan, warga berharap bisa segera bertatap muka langsung dengan Dedi Mulyadi agar permasalahan yang telah berlangsung puluhan tahun ini dapat diselesaikan secara damai dan bermartabat.
Latar Belakang Sengketa
Sengketa tanah adat Cibinong berawal pada masa Orde Lama, ketika lahan warga diminta untuk digunakan pemerintah tanpa ganti rugi. Setelah peristiwa 1965, area itu diamankan aparat dan kemudian berubah status menjadi tanah negara berdasarkan SK Menteri Dalam Negeri No. 70/HP/1968/A/6.
Surat keputusan tersebut menjadi dasar penerbitan dua Sertifikat Hak Pakai (SHP) atas nama LIPI, yang kini dikelola BRIN.
Namun, warga menemukan sejumlah kejanggalan. Berdasarkan surat dari Kementerian Keuangan, tanah itu tidak tercatat sebagai aset negara, sehingga penguasaan BRIN dinilai tidak memiliki dasar hukum kuat.
Lebih lanjut, hasil peninjauan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Bogor pada tahun 2000 juga menyebut lahan tersebut masih terdaftar sebagai tanah hak milik adat.
“Kami hanya ingin pemerintah mengakui dan menghormati hak kami. Kalau memang negara hadir untuk rakyat, buktikan dengan menegakkan keadilan,” tegas Robert B. Keytimu, Koordinator Tim Advokasi.
Menunggu Langkah Pemerintah
Kini, tanah yang dahulu menjadi lahan pertanian warga telah berpagar tembok dan dipenuhi bangunan milik BRIN. Sebagian area disebut dimanfaatkan oleh oknum secara pribadi.
Kepala desa setempat memilih bersikap menunggu, sementara warga bersiap menempuh langkah hukum jika mediasi dengan pemerintah daerah kembali gagal.Paguyuban berharap, Dedi Mulyadi sebagai Gubernur Jawa Barat bisa menjadi jembatan penyelesaian konflik antara rakyat dan lembaga negara.
Mereka juga meminta pemerintah pusat turun tangan agar penyelesaian dilakukan secara terbuka dan berkeadilan.
“Kami tidak ingin konflik, kami hanya ingin hak kami diakui. Kami percaya Kang Dedi bisa membuka jalan bagi keadilan,” tutup H. Eddy Rosidi dengan mata berkaca-kaca.