Loading
Tangkapan layar - Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kemenkum Dhahana Putra dalam Webinar Uji Publik Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati di Jakarta, Jumat (31/10/2025). ANTARA/YouTube/djppkemenkum/Agatha Olivia Victoria
JAKARTA, ARAHKITA.COM — Sebanyak sekitar 500 narapidana di Indonesia hingga kini masih menunggu giliran eksekusi hukuman mati. Fakta ini diungkap langsung oleh Kementerian Hukum (Kemenkum), yang menilai kondisi tersebut sudah menjadi masalah serius karena belum adanya aturan jelas soal waktu pelaksanaan pidana mati.
“Bisa dibayangkan, seseorang yang sudah divonis mati tapi tidak tahu kapan eksekusinya akan dilakukan. Ini penantian yang luar biasa panjang dan menjadi persoalan besar,” ujar Direktur Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Kemenkum, Dhahana Putra, dalam Webinar Uji Publik Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati, Jumat (31/10/2025).
RUU Pidana Mati Segera Dikirim ke DPR
Untuk mengatasi kekosongan hukum tersebut, pemerintah kini tengah menyiapkan RUU Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati, yang rencananya akan segera disampaikan Presiden Prabowo Subianto kepada Ketua DPR RI Puan Maharani.
Dalam rancangan undang-undang itu, pemerintah mengatur bahwa eksekusi pidana mati harus dilakukan paling lambat 30 hari setelah penetapan pelaksanaan putusan. Proses eksekusi juga akan dilakukan di tempat tertutup dan terbatas, diutamakan di daerah tempat terpidana menjalani masa pembinaan.
“Dalam proses pelaksanaannya, pemberitahuan akan disampaikan kepada terpidana dan keluarga, presiden, advokat, Mahkamah Agung, menteri terkait, kepolisian, dan Komnas HAM,” jelas Dhahana.
Pemberitahuan itu juga wajib disertai hasil pemeriksaan, upaya hukum yang telah ditempuh, serta keputusan grasi yang ditolak.
Presiden Bisa Beri Pertimbangan
Dhahana menjelaskan, Presiden tetap memiliki kewenangan memberi pertimbangan terhadap pelaksanaan pidana mati. Jika dalam waktu 90 hari setelah menerima keputusan presiden tidak mengubah hukuman menjadi pidana penjara seumur hidup, maka usulan perubahan dianggap sah secara hukum.
“Artinya, RUU ini akan memberi kepastian hukum, baik bagi negara maupun bagi terpidana yang selama ini hidup dalam ketidakpastian,” tambahnya.
KUHP Baru: Hukuman Mati Jadi Upaya Terakhir
Meski begitu, Dhahana menegaskan bahwa dengan diberlakukannya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru pada 2 Januari 2026, posisi hukuman mati di Indonesia akan berubah secara signifikan.
Dalam KUHP Nasional, pidana mati tidak lagi menjadi hukuman pokok, melainkan hukuman alternatif yang setara dengan penjara seumur hidup atau 20 tahun.
“Inilah politik hukum kita sekarang. Pidana mati hanya diterapkan sebagai jalan terakhir (ultimum remedium), dan ada kecenderungan untuk tidak dilaksanakan,” tutur Dhahana menutup penjelasannya.