Rabu, 31 Desember 2025

Sengketa Empat Pulau Aceh-Sumut, Menkum: Itu Wewenang Kemendagri


 Sengketa Empat Pulau Aceh-Sumut, Menkum: Itu Wewenang Kemendagri Menteri Hukum Supratman Andi Agtas di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (18/3/2025). (ANTARA/Bagus Ahmad Rizaldi)

JAKARTA, ARAHKITA.COM - Menteri Hukum dan HAM Supratman Andi Agtas menegaskan bahwa polemik status kepemilikan empat pulau yang disengketakan antara Provinsi Aceh dan Sumatera Utara bukan menjadi kewenangan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham). Menurutnya, penyelesaian sengketa tersebut merupakan bagian dari tugas dan fungsi (tupoksi) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).

“Masalah ini masuk ke tupoksi Kemendagri, bukan Kemenkumham,” ujar Supratman kepada awak media usai menghadiri pembukaan pelatihan paralegal untuk organisasi kemasyarakatan di Jakarta, Sabtu (14/6).

Empat pulau yang menjadi sumber perselisihan adalah Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek. Sengketa wilayah ini kembali mencuat setelah Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 RI, Jusuf Kalla (JK), menyebut keputusan Mendagri terkait status administratif keempat pulau tersebut cacat secara formil.

Menanggapi pernyataan JK, Menkum menegaskan bahwa ranah penyelesaian berada sepenuhnya di bawah koordinasi Mendagri. “Kalau soal itu, ya nanti diselesaikan Pak Mendagri. Bukan domain kami di Kemenkumham,” jelasnya.

RUU Pemerintahan Aceh Sedang Disusun

Di kesempatan yang sama, Supratman juga mengungkapkan bahwa pemerintah saat ini sedang menyusun Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pemerintahan Aceh. Namun, ia belum bersedia memberikan penjelasan lebih jauh mengenai isi atau muatan dalam RUU tersebut.

“Kita memang tengah mempersiapkan RUU Pemerintah Aceh. Tapi detailnya belum bisa saya sampaikan karena memang bukan tupoksi kami untuk menjelaskan secara teknis,” imbuhnya.

JK: Keputusan Mendagri Cacat Formil

Sehari sebelumnya, pada Jumat (13/6), Jusuf Kalla menyampaikan bahwa Keputusan Mendagri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025, yang menyatakan empat pulau tersebut masuk wilayah Sumatera Utara, cacat secara formil.

Menurut JK, dasar historis dan legalitas wilayah Aceh telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956. Undang-undang itu juga menjadi salah satu pijakan penting dalam MoU Helsinki 2005 antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), yang mengakhiri konflik panjang di wilayah Aceh.

“Undang-undang itu jelas menyebutkan wilayah Aceh dan kabupaten-kabupatennya. Itu sebabnya dalam MoU Helsinki, UU tersebut dijadikan rujukan,” terang JK saat memberikan pernyataan di kediamannya, Jakarta Selatan dikutip dari Antara.

Editor : Farida Denura

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

Hukum & Kriminalitas Terbaru