Loading
Utusan Khusus Presiden RI bidang Iklim dan Energi Hashim Djojohadikusumo memberikan sambutan dalam acara Investing on Climate di Jakarta, Jumat (5/12/2025). ANTARA/Prisca Triferna
JAKARTA, ARAHKITA.COM – Perkembangan pasar karbon Indonesia kembali menjadi sorotan global. Utusan Khusus Presiden RI bidang Iklim dan Energi, Hashim Djojohadikusumo, menegaskan bahwa komunitas internasional menilai langkah Indonesia dalam memperkuat regulasi karbon sebagai sinyal positif bagi investasi hijau dan pengurangan emisi.
Dalam forum Investing on Climate yang digelar di Jakarta, Jumat (5/12/2025), Hashim menjelaskan bahwa hadirnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 110 Tahun 2025 tentang Nilai Ekonomi Karbon (NEK) menjadi tonggak penting bagi ekosistem pasar karbon nasional. Regulasi ini, katanya, disusun melalui proses panjang yang melibatkan masukan dari berbagai pihak—mulai dari institusi pemerintah, pelaku usaha, NGO, hingga komunitas internasional.
“Sambutan dari dunia internasional sangat positif. Mereka melihat Indonesia serius menata pasar karbon melalui regulasi yang kuat,” ujar Hashim.
Ia menambahkan, saat menghadiri rangkaian pertemuan bisnis di São Paulo, Brasil, bertepatan dengan Konferensi Perubahan Iklim PBB (COP30), banyak pelaku usaha global yang menunjukkan antusiasme terhadap peluang pasar karbon Indonesia. Menurut Hashim, minat itu tumbuh seiring meningkatnya kebutuhan skema perdagangan karbon yang transparan dan berkelanjutan.
Lebih jauh, Hashim menyampaikan bahwa kementerian dan lembaga terkait telah mulai mengeksekusi tindak lanjut penerapan nilai ekonomi karbon pasca-COP30. Salah satu agenda besar adalah memastikan transisi energi berjalan sesuai peta jalan nasional.
Dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025–2034, pemerintah menargetkan 76 persen pembangkit listrik berasal dari Energi Baru Terbarukan (EBT) pada tahun 2034. RUPTL terbaru itu juga membuka ruang bagi pembangkit listrik tenaga nuklir, yang akan menjadi bagian dari strategi energi nasional jangka panjang hingga 2040.
“Program ini luar biasa, dan akan terus berlanjut hingga 2040, termasuk pemanfaatan teknologi baru seperti tenaga nuklir,” kata Hashim menutup paparannya dikutip Antara.