Selasa, 30 Desember 2025

Indonesia Butuh USD 757,6 Miliar untuk Wujudkan Target Iklim 2035


 Indonesia Butuh USD 757,6 Miliar untuk Wujudkan Target Iklim 2035 Menteri PPN/Bappenas Rachmat Pambudy (kiri) saat memberikan dokumen Pembangunan Berketahanan Iklim (PBI) dan Kajian Dampak Perubahan Iklim terhadap Perpindahan Penduduk pada Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil di Indonesia kepada Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono di Jakarta, Selasa (2/12/2025). ANTARA-Muhammad Baqir Idrus Alatas.

JAKARTA, ARAHKITA.COM — Pemerintah Indonesia memperkirakan kebutuhan pendanaan iklim mencapai 757,6 miliar dolar AS hingga tahun 2035. Angka besar ini diperlukan untuk memenuhi komitmen dalam Enhanced dan Secondary Nationally Determined Contribution yang menjadi arah kebijakan iklim nasional.

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Rachmat Pambudy, menegaskan bahwa alokasi anggaran iklim saat ini masih jauh dari ideal. “Saat ini belanja iklim baru sekitar tiga persen dari total APBN,” ujarnya dalam Peluncuran Dana Inovasi Teknologi dan Kajian Solusi Berketahanan Iklim di Jakarta, Selasa (2/12/2025).

Sejak 2016 hingga 2024, rata-rata belanja iklim pemerintah hanya mencapai 4,4 miliar dolar AS per tahun, atau sekitar tiga persen dari APBN. Kondisi ini menunjukkan adanya kesenjangan pendanaan yang besar untuk memenuhi target iklim nasional.

Sorotan Global di COP30

Isu pendanaan iklim kembali menjadi sorotan utama dalam Konferensi Perubahan Iklim PBB ke-30 (COP30) di Belém, Brasil. Beberapa kesepakatan penting yang muncul antara lain:

  • Target mobilisasi pendanaan global melalui New Collective Quantified Goal on Climate Finance (NCQG) hingga 1,3 triliun dolar AS per tahun pada 2035.
  • Komitmen peningkatan dana adaptasi hingga tiga kali lipat pada 2035.
  • Pembentukan Tropical Forest Forever Facility dengan pendanaan awal sekitar 6,7 miliar dolar AS.

Situasi global ini mendorong Indonesia untuk semakin siap, baik dalam tata kelola, program, maupun proyek yang dapat menarik investasi iklim.

Investasi Menjadi Kunci

Rachmat menekankan bahwa investasi awal pada teknologi rendah karbon adalah fondasi penting untuk mempercepat transisi energi dan memperkuat ketahanan iklim nasional. Investasi tersebut dinilai membuka peluang ekonomi besar.

Kajian World Resources Institute (WRI) tahun 2025 menunjukkan bahwa setiap satu dolar AS yang ditanamkan di sektor adaptasi dapat menghasilkan lebih dari 10 dolar AS manfaat ekonomi dalam satu dekade.

Selain investasi, uji coba dan demonstrasi teknologi perlu dilakukan untuk menjembatani inovasi dari tahap ide menuju implementasi nyata. Hal ini sejalan dengan temuan International Energy Agency (IEA) pada 2021 yang menyebutkan bahwa 50 persen pengurangan emisi pada 2050 akan bergantung pada teknologi yang saat ini masih bersifat prototipe.

Peran Data dan Bukti Lapangan

Basis data yang kuat juga menjadi fondasi penting untuk memastikan kebijakan iklim berjalan tepat sasaran. Mengacu laporan IPCC tahun 2022, kesenjangan data risiko masih menjadi hambatan utama dalam adaptasi iklim, terutama di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

Menjawab tantangan tersebut, pemerintah meluncurkan Innovation and Technology Fund (ITF) bersamaan dengan dokumen Pembangunan Berketahanan Iklim (PBI) serta Kajian Dampak Perubahan Iklim terhadap Perpindahan Penduduk di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Innovation and Technology Fund (ITF) Sebagai Jembatan Baru

ITF diposisikan sebagai mekanisme pendanaan untuk mendorong pembangunan rendah karbon di tingkat provinsi. Dana ini juga dirancang sebagai katalis inovasi dan teknologi yang mampu memberikan manfaat ganda, baik bagi mitigasi maupun adaptasi iklim dikutip Antara.

Kolaborasi ITF dengan berbagai skema pendanaan lain akan disinergikan melalui Innovative Development Fund, yang diharapkan dapat memperkuat kontribusi Indonesia dalam mencapai target pembangunan nasional.

Di akhir sambutannya, Rachmat menyampaikan apresiasi kepada pemerintah Inggris, pemerintah Jerman, UNDP, dan sejumlah kementerian yang terus mendukung upaya Indonesia dalam mengatasi krisis iklim.

Editor : Farida Denura

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

Green Economy Insight Terbaru