Selasa, 30 Desember 2025

Harmoni Manusia dan Alam di Kampung Iklim Sepinggan: Menadah Hujan, Menumbuhkan Harapan


 Harmoni Manusia dan Alam di Kampung Iklim Sepinggan: Menadah Hujan, Menumbuhkan Harapan Rahman, penggerak Kampung Iklim Sepinggan menunjukkan kolam ikan yang memanfaatkan air hujan. ANTARA/Ahmad Rifandi.

GREEN ECONOMY INSIGHT | COMMUNITY & LOCAL VOICES

DI TENGAH derasnya modernisasi dan konsumsi yang sering lupa arah, Kampung Iklim Sepinggan di Kota Balikpapan, Kalimantan Timur, memilih jalan yang berbeda. Warganya percaya bahwa alam bukan sesuatu yang ditaklukkan, melainkan mitra hidup yang mesti dijaga. Mereka mengambil secukupnya, mengembalikan selebihnya. Sebuah siklus berkah yang tumbuh dari kesadaran sederhana namun berpengaruh besar.

Gerakan ini dipelopori Abdul Rahman, penggerak Program Kampung Iklim (Proklim) Sepinggan. Ia mengajak warga mengolah air hujan yang selama ini hilang percuma menjadi sumber kehidupan. Gentong, bak penampung, dan instalasi pipa lahir dari gotong-royong. Dari langit turun hujan, dan dari rumah warga lahir kemandirian.

“Air hujan ini tidak dibiarkan lari ke jalan atau selokan. Kami gunakan untuk mandi, menanam, hingga beternak ikan,” ujar Rahman.

Setiap rumah menyiapkan penampung dengan kapasitas rata-rata 1.000–2.000 liter. Solusi ini tepat untuk wilayah yang berjarak sekitar tiga kilometer dari akses utama dan belum terlayani PDAM. Dahulu mereka membeli air tandon, kini mereka menyimpan hujan dan menghemat biaya hidup. Sisa limpahannya mengaliri tanaman hidroponik, kebun palawija warga, bahkan kolam ikan air tawar. Lingkar ekonomi kecil tumbuh dari curah hujan.

Dari Sampah Menjadi Tabungan dan Kehidupan Baru

Tidak hanya air yang diolah. Sampah pun diberi peran baru—bukan sekadar residu, tapi sumber daya. Di Sepinggan, pemilahan sampah dimulai dari dapur rumah. Sampah anorganik bernilai ekonomis dikumpulkan, ditimbang, lalu dicatat layaknya tabungan di bank.

Setiap kilogram plastik, kertas, dan logam punya nilai tukar. Warga menabung sambil mengurangi beban TPA. Teknologi dari P3E Kalimantan membantu pencatatan digital, membuat proses lebih transparan dan terukur. Dalam satu bulan, bank sampah ini mampu mengelola hingga sekitar 15 ton sampah—angka yang dulu tak pernah terbayangkan.

Sampah organik pun tak dibiarkan membusuk. Ia berubah menjadi kompos, pupuk cair, eco-enzyme, hingga pakan maggot untuk ternak ikan. Siklusnya tak pernah mati: organik menjadi maggot, maggot jadi pakan, ikan menghidupi warga kembali.

“Masyarakat mendapatkan nilai rupiah dari sampah yang mereka kumpulkan. Ada buku tabungan sampahnya. Bahkan untuk aplikasinya, kami mendapat dukungan sistem dari Pusat Pengendalian Pembangunan Ekoregion (P3E) Kalimantan,” kata dia dikutip Antara.

Sabun Organik dari Kulit Buah: Inovasi yang Lahir dari Dapur

Salah satu inovasi yang paling banyak menarik perhatian adalah sabun ramah lingkungan berbahan limbah buah. Teksturnya sederhana, aromanya khas fermentasi, tapi fungsinya lengkap untuk kebutuhan rumah tangga. Sabun ini tidak berbusa berlebih seperti sabun kimia, namun efektif membersihkan piring, pakaian, hingga lantai sekaligus menyuburkan tanah. Limbah cucinya tidak mencemari selokan—justru memperbaiki kualitas tanah.

“Sabun ini terbuat dari limbah dan kembali memberi kebaikan alam, sehingga air bekas cucian justru membuat tanah menjadi subur dan tidak mencemari selokan,” ujar Rahman.

Butuh tiga bulan fermentasi untuk menghasilkan eko-enzim, dan dari sinilah Rahman membuktikan sesuatu: limbah tidak harus berakhir sebagai masalah. Dengan proses tersebut, sabun menjadi produk ekologis yang kini bisa dipesan langsung oleh masyarakat. Bahkan plastik dari pinggir pantai pun mereka olah menjadi paving block.

“Aroma khas fermentasi yang muncul dari sabun murni ini menandakan adanya kandungan alkohol alami yang berfungsi sebagai disinfektan pembunuh kuman,” kata Rahman.

Perubahan Tidak Terjadi Seketika, tapi Berbuah Nyata

Rahman tidak datang ke Sepinggan dalam keadaan seindah hari ini. Tahun 2007, wilayah ini adalah TPS liar—bau, kumuh, dan terbakar sampah. Ia membersihkannya setapak demi setapak, menanam pohon, mengajak tetangga satu per satu. Tahun 2012, Bank Sampah terbentuk. Tahun 2021, kampung ini meraih penghargaan nasional Proklim dari KLHK. Kini, Sepinggan menjadi bagian Kampung Berseri Astra, menjangkau 70 Rukun Tetangga dengan pilar yang berkembang: lingkungan, pendidikan, kesehatan, kewirausahaan, hingga mitigasi bencana.

“Dulu tahun 2007 saat saya masuk, orang membuang sampah sembarangan di sini, jadi TPS bayangan. Mereka juga membakar sampah di situ,” kata Rahman mengenang.

Jejak perubahan itu terlihat hari ini. Tidak hingar-bingar, tetapi bernapas panjang. Warga menadah hujan, memilah sampah, mengolah organik, dan menyuburkan halaman. Mereka membuktikan bahwa harmoni antara manusia dan alam bukan mitos—ia lahir dari kesediaan untuk bekerja pelan, konsisten, dan bersama-sama.

Kampung Iklim Sepinggan mungkin hanya satu titik kecil di peta Indonesia. Namun dari titik kecil itulah kita belajar bahwa ekonomi hijau dapat tumbuh dari halaman rumah. Dan jika banyak kampung bergerak seperti ini, bukan tidak mungkin bumi ikut pulih—setetes demi setetes, lembar demi lembar sampah yang berubah jadi manfaat.

 

Editor : Farida Denura

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

Green Economy Insight Terbaru