Loading
Seorang pria berjalan melewati logo Konferensi Perubahan Iklim PBB ke-30 (COP30), Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim dan KTT Iklim Belem di Belem, Brasil, pada 6 November 2025. ANTARA/Xinhua/Lucio Tavora
BELEM, ARAHKITA.COM – Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres kembali mengingatkan dunia bahwa waktu untuk menahan laju krisis iklim hampir habis. Dalam konferensi pers di sela-sela UN Climate Change Conference ke-30 (COP30) di Belem, Brasil, Kamis (20/11/2025), ia menuntut adanya kesepakatan global yang adil, seimbang, dan segera.
Konferensi yang berlangsung 10–21 November itu kini memasuki babak akhir negosiasi. Menurut Guterres, masyarakat yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim sudah tidak bisa menunggu lebih lama. “Kita harus bergerak jauh lebih cepat dengan penurunan emisi yang drastis,” tegasnya.
Tidak Cukup Hanya Melanjutkan Tren Setelah Paris Agreement
Meski sudah ada kemajuan sejak Paris Agreement 2015, Guterres menilai pencapaiannya masih jauh dari cukup. Ia menegaskan bahwa:
Ia juga menyoroti pentingnya transisi energi yang adil dan tertib dari bahan bakar fosil, sejalan dengan kesepakatan COP28 di Dubai.
Perlindungan Ekosistem dan Dana Iklim: Dua Kunci Utama
Guterres menyebutkan bahwa perlindungan alam, khususnya kawasan hutan, tidak bisa dinegosiasikan. Upaya menghentikan dan membalikkan deforestasi pada 2030 menjadi langkah penting agar alam tetap menjadi pelindung, bukan korban.
Selain itu, ia mendorong negara-negara maju untuk mengambil peran kepemimpinan dalam membiayai aksi iklim global. Target pembiayaan kini dipatok setidaknya 300 miliar dolar AS per tahun hingga 2035, dengan jalur menuju 1,3 triliun dolar AS per tahun.
Sistem keuangan global, termasuk bank pembangunan multilateral, menurutnya harus mampu mengakselerasi dan memperbesar sumber pendanaan tersebut. “Kita tahu anggaran terbatas, tetapi sistem keuangan dapat membuka peluang jauh lebih besar,” ujarnya.
Butuh Iktikad Politik yang Nyata
Di akhir pernyataannya, Guterres menekankan bahwa hambatan terbesar bukanlah teknologi atau pengetahuan ilmiah, melainkan kemauan politik. “Iktikad politik inilah yang selama ini gagal,” katanya. Ia berharap COP30 menjadi titik balik untuk kesepakatan iklim yang benar-benar progresif dan berkeadilan.