Loading
Para peserta menghadiri upacara pembukaan Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa ke-30 di Belem, Brasil, 10 November 2025. (ANTARA/HO-Xinhua/Lucio Tavora)
BELEM, ARAHKITA.COM — Uni Eropa kembali menegaskan dukungannya terhadap kepemimpinan Brasil dalam upaya mendorong percepatan negosiasi iklim di Konferensi Perubahan Iklim PBB ke-30 (COP30). Apresiasi itu disampaikan langsung oleh Komisioner Eropa untuk Iklim, Nol Bersih, dan Pertumbuhan Bersih, Wopke Hoekstra, dalam konferensi pers di Hangar Convention Center, Belem, Rabu (19/11/2025).
Hoekstra menyebut Presiden Brasil Luiz Inácio Lula da Silva memainkan peran penting dalam memastikan agenda iklim tetap bergerak maju di tengah dinamika global. “Luar biasa bahwa Presiden Lula mengerahkan seluruh pengaruh politiknya di balik proses ini,” ujarnya.
Brasil Dinilai Tepat Jadi Tuan Rumah COP30
Hoekstra menilai keputusan menunjuk Belem sebagai tuan rumah COP30 sangat tepat. Kota ini berada di pintu masuk hutan hujan Amazon—wilayah yang menjadi simbol sekaligus barometer kesehatan bumi.
Konferensi yang berlangsung sejak 10 November hingga 21 November itu kini memasuki tahap akhir. Delegasi dari seluruh dunia tengah merampungkan negosiasi terkait komitmen global untuk menghadapi krisis iklim yang kian mendesak.
Adaptasi Jadi Kunci, Mitigasi Saja Tidak Cukup
Menurut Hoekstra, transisi energi bersih harus berjalan beriringan dengan pendanaan adaptasi iklim yang signifikan. Ia menekankan bahwa mengurangi emisi saja tidak cukup, mengingat dampak perubahan iklim berkembang jauh lebih cepat dari prediksi ilmiah.
Negara-negara yang paling rentan—termasuk negara kepulauan kecil yang terancam naiknya permukaan laut—harus menjadi prioritas utama karena memiliki kontribusi minimal terhadap krisis iklim, namun menanggung risiko terbesar.
Pertumbuhan Ekonomi Tetap Penting
Hoekstra juga mengingatkan bahwa transformasi menuju ekonomi hijau bukan berarti menurunkan laju pertumbuhan global. Menurutnya, sejarah menunjukkan bahwa perlambatan ekonomi dan resesi justru lebih dahulu memukul kelompok masyarakat yang paling rentan.
“Jangan terjebak pada anggapan bahwa pertumbuhan yang lebih rendah otomatis menguntungkan mereka yang membutuhkan,” tegasnya dikutip Antara.