Loading
Seruan Kembali ke Rakyat–Kembali ke Akar kembali menggema dari delegasi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) di ajang COP30 Belem, Brasil. (Foto: Dok. WALHI)
BELEM, ARAHKITA.COM – Seruan “Kembali ke Rakyat–Kembali ke Akar” kembali menggema dari delegasi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) di ajang COP30 Belem, Brasil. Pesan ini menegaskan bahwa upaya penanganan krisis iklim tidak bisa lagi dikendalikan oleh korporasi dan kepentingan elite, melainkan harus kembali berpijak pada pengetahuan rakyat, kearifan lokal, dan realitas di tapak.
WALHI menilai bahwa proses perundingan iklim global semakin menjauh dari mandat keadilan iklim. Sejak kesepakatan Paris 2015, komitmen menahan pemanasan global di angka 1,5°C tak menunjukkan kemajuan signifikan. Tahun 2024 bahkan menjadi salah satu tahun terpanas, dengan kenaikan suhu global rata-rata mencapai sekitar 1,55 °C dibanding era pra-industri.
Situasi ini diperparah oleh membesarnya pengaruh pelobi fosil dalam perundingan COP. Menurut laporan Koalisi Kick Big Polluters Out (KBPO), lebih dari 1.600 pelobi fosil hadir di COP30, termasuk 46 perwakilan dalam delegasi Indonesia. Mereka dinilai mendorong pelonggaran aturan pasar karbon dalam Pasal 6.4, yang berpotensi melemahkan integritas lingkungan dan membuka ruang keuntungan bagi industri penghasil emisi.
Uli Arta Siagian, Manager Kampanye Hutan dan Kebun WALHI Nasional, menegaskan bahwa fenomena ini semakin memperlihatkan corporate capture—kondisi saat kebijakan publik tersandera kepentingan korporasi.
“Kita tidak boleh terlambat menyelamatkan kehidupan. Karena itu kami menyerukan ‘Kembali ke Rakyat–Kembali ke Akar’ sebagai call to action di COP30, baik di Belem maupun aksi serentak di Indonesia,” ujarnya.
Suara dari Daerah: Pulau Kecil, Hutan, dan Komunitas Rentan
Seruan ini disampaikan serentak oleh jejaring WALHI di delapan provinsi: Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Riau, NTT, Jambi, dan Sulawesi Tengah.Suara dari NTT: Hidup di Garis Depan Krisis Iklim
Yuven Stefanus Nonga, Direktur WALHI NTT, menyoroti nasib perempuan, anak, masyarakat adat, nelayan, dan petani di pulau-pulau kecil yang hidup dalam kerentanan ekstrem.
“Kami hidup di tanah yang retak, laut yang naik, dan gunung yang terus dieksploitasi atas nama transisi hijau. Kebijakan iklim harus berangkat dari kerentanan nyata di tapak. Jawabannya hanya bisa ditemukan jika negara kembali ke rakyat.”
Dari Jambi: Transisi Energi yang Memihak Rakyat
Oscar Anugrah, Direktur WALHI Jambi, menyebut komitmen iklim nasional masih membuka jalan untuk ekspansi industri ekstraktif.“Transisi energi berkeadilan hanya terjadi bila negara mendengar suara rakyat—khususnya perempuan—yang setiap hari menghadapi dampak iklim dan ancaman proyek energi kotor.”
Dari Sulawesi Tengah: “Kolonialisasi Iklim” dan Industri Nikel
Di Sulawesi Tengah, Sunardi Katili menyebut COP30 sebagai “pertemuan palsu”, karena negara-negara Utara dinilai memindahkan krisis ke Selatan.“Perdagangan karbon bukan solusi. Pengurangan emisi harus dilakukan langsung dari industrinya,” tegasnya, merujuk pada deretan industri nikel yang masih menggunakan
PLTU captive batu bara di Morowali dan Morowali Utara. Ia menambahkan bahwa perlu penghentian ekspansi industri ekstraktif yang terus mengejar keuntungan dengan mengorbankan ruang hidup rakyat.
Krisis Iklim Tak Tunggu Siapa Pun
WALHI menekankan bahwa Indonesia dan dunia tidak punya kemewahan waktu. IPCC mencatat bahwa:
Selain itu, peningkatan suhu global di atas 1,5°C berpotensi memperparah degradasi lingkungan, menurunkan hasil pertanian, dan memicu krisis sosial-ekonomi.
Karena itu, seruan “kembali ke rakyat” bukan sekadar slogan, melainkan tuntutan strategis untuk memastikan arah kebijakan iklim benar-benar menyentuh akar masalah—bukan sekadar solusi teknokratis yang menguntungkan segelintir pihak.