Selasa, 30 Desember 2025

Dunia Butuh Solusi Iklim: Waktunya Transisi Energi Bersih yang Berkeadilan


  Dunia Butuh Solusi Iklim: Waktunya Transisi Energi Bersih yang Berkeadilan Sekretaris Eksekutif UNFCCC Simon Stiell berpidato dalam pembukaan COP30 pada 10 November 2025. (Foto: Alex Ferro/COP30)

JAKARTA, ARAHKITA.COM – Krisis iklim tak lagi bisa ditunda. Dunia membutuhkan langkah nyata untuk beralih dari bahan bakar fosil menuju energi bersih yang adil bagi semua. Seruan ini kembali ditegaskan oleh Sekretaris Eksekutif United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), Simon Stiell, dalam pembukaan Conference of the Parties (COP30) di Belém, Brasil, pada 10 November 2025.

“Kita sudah sepakat meninggalkan bahan bakar fosil. Kini waktunya memastikan transisi ini berjalan secara adil dan tertib,” ujar Stiell. Ia menambahkan, percepatan energi terbarukan dan peningkatan efisiensi energi harus menjadi prioritas global.

Transisi yang Tak Bisa Ditunda Lagi

Menurut Stiell, alasan untuk menunda komitmen terhadap energi bersih sudah tidak relevan. Energi surya dan angin kini menjadi sumber energi termurah di 90 persen wilayah dunia. Bahkan, investasi energi bersih telah melampaui bahan bakar fosil dengan perbandingan dua banding satu.

“Ketika jutaan nyawa melayang akibat bencana iklim padahal solusi sudah ada, sejarah tidak akan memaafkan kita,” tegasnya.

Indonesia di Persimpangan Energi

Di Indonesia, tantangan transisi energi justru semakin kompleks. Leonard Simanjuntak, Country Director Greenpeace Indonesia, menilai bahwa kebijakan transisi energi nasional masih belum berpijak pada kesadaran akan krisis iklim.

“Sejak COP Paris 2015, dunia sepakat untuk menghentikan ekspansi energi fosil. Tapi kebijakan energi Indonesia masih memberi ruang besar bagi batu bara dan gas,” ujarnya. Ia menilai arah kebijakan ini lebih dipengaruhi politik transaksional daripada kesadaran ekologis.

Presiden Prabowo Subianto dalam beberapa forum internasional menyatakan target 100 persen energi bersih dalam satu dekade. Namun, menurut Agung Budiono, Direktur Eksekutif CERAH, janji ini belum tercermin dalam dokumen kebijakan nasional seperti Kebijakan Energi Nasional (KEN) atau Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN).

“Jika batu bara dan gas masih mendominasi lebih dari 60 persen pasokan energi hingga 2045, maka komitmen transisi bersih hanya akan berhenti di retorika,” ujar Agung.

Antara Janji Global dan Realita Nasional

Indonesia telah menandatangani komitmen global seperti Second Nationally Determined Contribution (SNDC) dan target Net Zero Emission 2060 atau lebih cepat. Namun, implementasi di lapangan masih berjarak jauh dari semangat itu.

Beyrra Triasdian, pengkampanye energi terbarukan dari Trend Asia, menyebut bahwa kebijakan energi Indonesia masih terjebak pada “solusi palsu”. Pemerintah masih mendorong gas sebagai bahan bakar rendah karbon dan membuka peluang pembangunan PLTU baru.

“Selama transisi energi hanya berputar di lingkaran korporasi besar dan mengabaikan inisiatif energi berbasis komunitas, maka keadilan iklim sulit tercapai,” kata Beyrra.

Dampak Sosial dan Ekonomi Batu Bara

Data Kementerian ESDM hingga 2024 menunjukkan bahwa batu bara masih mendominasi bauran energi nasional dengan porsi 40,37 persen. Dampaknya tak hanya ekologis, tetapi juga sosial-ekonomi.

Riset terbaru CELIOS, CREA, dan Trend Asia (4 November 2025) mengungkap, 20 PLTU di Indonesia berpotensi menyebabkan 156 ribu kematian dini akibat polusi udara hingga 2050. Kerugian ekonomi akibat dampak kesehatan diperkirakan mencapai US$109 miliar atau sekitar Rp1.813 triliun.

Sektor pertanian, perkebunan, dan perikanan menjadi yang paling terdampak, dengan penurunan pendapatan hingga Rp48,4 triliun dan hilangnya 1,45 juta lapangan kerja.

Pendanaan untuk Keadilan Iklim

Manajer Kampanye Hutan dan Kebun WALHI, Uli Arta Siagian, menegaskan bahwa transisi energi bersih harus disertai pendanaan yang berpihak pada komunitas lokal.Ia menyoroti skema Tropical Forest Forever Facility (TFFF) yang harus memastikan dananya tidak justru menopang industri bahan bakar fosil. “Pendanaan iklim harus memberi manfaat langsung bagi masyarakat adat dan penjaga hutan yang selama ini menjadi garda depan pelestarian alam,” ujarnya.

Dalam forum COP30, Stiell pun mendorong agar negara maju memenuhi janji pendanaan US$1,3 triliun bagi negara berkembang hingga 2035, termasuk komitmen US$300 miliar per tahun untuk pendanaan iklim.

Refleksi: Momentum Hijau yang Tak Boleh Dilewatkan

Transisi energi bukan sekadar mengganti sumber daya, melainkan mengubah paradigma pembangunan. Energi bersih yang berkeadilan berarti memastikan tak ada kelompok yang tertinggal — baik masyarakat kecil, komunitas adat, maupun pelaku ekonomi hijau di akar rumput.

Jika arah kebijakan tetap berpihak pada fosil, maka dunia bukan hanya kehilangan momentum hijau (green momentum), tetapi juga keadilan sosial yang menyertainya.

Editor : Farida Denura

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

Green Economy Insight Terbaru