Loading
Arsip foto - Presiden Brazil Luiz Inacio Lula da Silva. ANTARA/Xinhua/Lucio Tavora/aa.
BELEM, ARAHKITA.COM – Presiden Brazil Luiz Inacio Lula da Silva menyerukan agar dunia bersatu melawan kelompok penyangkal sains iklim yang semakin gencar menebar misinformasi di era digital.
Dalam pidato pembukaan Konferensi Perubahan Iklim PBB ke-30 (COP30) di kota Belém, jantung kawasan Amazon, Senin (10/11/2025), Lula menegaskan bahwa saatnya komunitas global bertindak tegas terhadap mereka yang menolak bukti ilmiah perubahan iklim.
“Mereka mengendalikan algoritma, menebar kebencian, menyebarkan ketakutan, dan menyerang lembaga pendidikan serta ilmu pengetahuan. Kini saatnya kita kalahkan para penyangkal itu,” tegas Lula di hadapan para delegasi dunia.
Presiden berhaluan kiri itu menyebut bahwa sikap anti-sains telah menjadi ancaman serius terhadap kemajuan kerja sama internasional dan upaya mencapai target Perjanjian Paris. Ia menyoroti bagaimana misinformasi telah memperlambat tindakan global menghadapi krisis iklim yang kian nyata.
Namun, seruan kuat Lula disampaikan di tengah absennya sejumlah pemimpin negara besar seperti Amerika Serikat, China, dan India dari forum tersebut. Ia menyayangkan ketidakhadiran mereka yang justru berperan besar dalam peningkatan emisi global.
Lula juga mengkritik kebijakan negara-negara kaya yang terus menggelontorkan dana besar untuk militer, sementara investasi untuk penyelamatan iklim justru minim.
“Jika para pemicu perang hadir di COP30, mereka akan sadar bahwa lebih murah mengalokasikan 1,3 triliun dolar AS untuk mengatasi perubahan iklim daripada menghabiskan 2,7 triliun dolar untuk berperang,” ujarnya dilansir Antara.
Menurut Lula, dana besar itu seharusnya bisa dialihkan untuk membantu negara berkembang memperkuat transisi energi hijau dan menghadapi dampak perubahan iklim yang semakin berat.
Ia pun menegaskan kembali komitmen Brazil untuk menjaga hutan Amazon, sekaligus mendorong negara lain meningkatkan ambisi dalam menekan emisi karbon.
COP30 di Belém, kata Lula, bukan hanya simbol perjuangan melawan krisis iklim global, tetapi juga pengingat bahwa keadilan lingkungan harus dimulai dari tempat yang paling rentan.
“Bayangkan, separuh warga Belém—tuan rumah COP30—masih belum memiliki akses sanitasi dasar. Ini menunjukkan bahwa keadilan iklim tidak bisa dipisahkan dari keadilan sosial,” tutupnya.