Selasa, 30 Desember 2025

Perdagangan Karbon: Komitmen Iklim atau Sekadar Komoditas Hijau?


 Perdagangan Karbon: Komitmen Iklim atau Sekadar Komoditas Hijau? Gedung perhelatan Konferensi Para Pihak (COP) 30 UNFCCC di Belem, Brasil (6/11) (Sumber Foto: Raimundo Pacco/COP30)

JAKARTA, ARAHKITA.COM - Perdagangan karbon kembali menjadi sorotan menjelang Konferensi Perubahan Iklim COP30 di Belem, Brazil, pada 10–21 November 2025. Di Paviliun Indonesia, isu ini bahkan menjadi fokus utama, berdampingan dengan tema pendanaan iklim. Pemerintah menyiapkan forum khusus yang mempertemukan calon penjual dan pembeli kredit karbon—sebuah langkah yang terdengar menjanjikan: menyelamatkan hutan sekaligus menghasilkan pemasukan.

Namun di balik narasi optimistis itu, muncul pertanyaan besar: apakah perdagangan karbon benar-benar menurunkan emisi atau sekadar mempercantik citra hijau di panggung global?

Antara Menyelamatkan Hutan dan Menunda Krisis Iklim

Perdagangan karbon sebenarnya merupakan bagian dari aksi mitigasi dalam Paris Agreement, perjanjian global untuk menahan kenaikan suhu bumi di bawah 1,5°C dibandingkan masa pra-industri. Jika ambang batas ini terlewati, dunia menghadapi risiko besar: mencairnya es kutub, naiknya permukaan laut, hingga ancaman kepunahan 8% spesies di bumi.

Namun menurut Torry Kuswardono, Koordinator Sekretariat Aliansi Rakyat untuk Keadilan Iklim (ARUKI), konsep “jual karbon, selamatkan hutan, dan dapat duit” belum menyentuh akar masalah.

“Sektor energi, khususnya PLTU batubara, masih menjadi penyumbang emisi terbesar. Tapi kebijakan iklim kita justru lebih banyak menjadikan hutan sebagai komoditas,” ujarnya dalam Diskusi Nexus Tiga Krisis Planet, Jumat (7/11/2025).

Dua Sisi Mekanisme: Offset vs Cap and Trade

Dalam praktiknya, pasar karbon berjalan lewat dua mekanisme: offset dan cap and trade.Offset karbon bersifat kompensasi. Misalnya, perusahaan penerbangan yang tidak bisa menekan emisinya membeli “kredit karbon” dari proyek reboisasi atau konservasi gambut. Dengan begitu, emisi yang dihasilkan dianggap “tertebus” oleh serapan karbon dari proyek tersebut.

Cap and trade bersifat wajib. Pemerintah menentukan batas emisi (cap) bagi sektor tertentu. Jika suatu pembangkit listrik berhasil menekan emisinya di bawah batas, selisihnya bisa dijual kepada yang kelebihan emisi.

Sayangnya, di Indonesia mekanisme yang dominan adalah offset. “Padahal offset sering kali membuat perusahaan enggan berinvestasi dalam teknologi bersih,” ujar Torry. “Mereka lebih memilih membeli kredit karbon murah ketimbang benar-benar menurunkan emisi di sumbernya.”

Insentif Besar, Tapi Efeknya Belum Terukur

Indonesia sempat menerima insentif dari Bank Dunia sebesar US$110 juta melalui program Forest Carbon Partnership Facility (FCPF) di Kalimantan Timur. Dana ini diberikan karena penurunan emisi sebesar 122 juta ton CO₂ lewat upaya mengurangi deforestasi.Namun menurut Riko Wahyudi, peneliti Research Center for Climate Change Universitas Indonesia, sistem perdagangan karbon justru berpotensi mengaburkan pencapaian nasional.

“Kalau emisi dijual ke luar negeri, penurunan itu tidak bisa dihitung sebagai kontribusi Indonesia. Jadi kita kehilangan kredit atas capaian sendiri,” jelasnya.

Tantangan Transparansi dan Moral Hazard

Masalah lain yang menonjol adalah integritas data dan sistem pengawasan (MRV: Measurement, Reporting, Verification) yang belum transparan. “Bahkan baseline emisi di sektor kehutanan masih jadi perdebatan,” kata Riko. Hal ini memunculkan risiko double counting, di mana satu penurunan emisi diklaim dua kali—oleh proyek dan oleh negara.

Torry menambahkan, banyak proyek offset melebih-lebihkan dampaknya.“Studi internasional menunjukkan over-crediting mencapai 30–100 persen. Artinya klaim pengurangan emisi sering kali dua kali lipat dari realitas,” katanya.

Investigasi The Guardian bahkan menyebut 90% kredit REDD+ tidak mewakili pengurangan emisi nyata.

Selain itu, sistem ini membuka moral hazard baru. Ketika harga kredit karbon rendah, perusahaan lebih memilih membeli daripada memperbaiki sistem produksinya. Akibatnya, transisi energi bersih menjadi tertunda.

Dampak Sosial: Antara Lahan dan Hak Komunitas

Pasar karbon juga memiliki dimensi sosial yang sering diabaikan. Proyek offset yang dilakukan di kawasan hutan kerap bersinggungan dengan masyarakat adat dan petani lokal. Banyak yang kehilangan akses ke lahan tradisional karena wilayah mereka diklaim sebagai area proyek karbon.

“Kalau tidak diatur dengan baik, pasar karbon bisa jadi bentuk baru kolonialisme ekologis,” kata Torry. “Hutan kita dijaga bukan untuk rakyatnya, tapi untuk kompensasi polusi negara lain.”

Belum Siap Jadi Pasar yang Sehat

Sistem Emission Trading System (ETS) di Uni Eropa bisa berjalan karena didukung infrastruktur data kuat dan sanksi tegas bagi pelanggar batas emisi. Di Indonesia, regulasinya masih bertahap. “Cap belum ditetapkan, aturan turunan masih banyak yang belum ada,” ujar Riko.Tanpa sistem pengawasan ketat, perdagangan karbon berisiko menjadi ladang bisnis hijau, bukan solusi krisis iklim.

“Kalau tujuannya menahan kenaikan suhu global, maka yang harus ditekan adalah emisi di sumbernya,” tegas Riko. “Bukan hanya memindahkan angka di laporan.”

Antara Bisnis dan Tanggung Jawab Bumi

Perdagangan karbon seharusnya bukan sekadar transaksi ekonomi, melainkan wujud nyata dari komitmen menekan emisi. Jika tidak dibarengi pengawasan, integritas data, dan keadilan bagi masyarakat lokal, maka yang tersisa hanyalah komoditas hijau tanpa jiwa.

JustCOP (Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Iklim) adalah jaringan masyarakat sipil yang memperjuangkan tata kelola iklim yang berbasis hak, transparan, dan demokratis—dengan menempatkan komunitas terdampak sebagai aktor utama perubahan.

Editor : Farida Denura

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

Green Economy Insight Terbaru