Selasa, 30 Desember 2025

Generasi Z Desak Pemerintah Libatkan Anak Muda Secara Nyata dalam Kebijakan Iklim


 Generasi Z Desak Pemerintah Libatkan Anak Muda Secara Nyata dalam Kebijakan Iklim Kapal terbakar akibat hantaman badai Seroja pada April 2021 di Lembata (Foto: Sumber: Ika)

JAKARTA, ARAHKITA.COM — Generasi Z di Indonesia menyerukan perubahan nyata dalam cara pemerintah melibatkan anak muda menghadapi krisis iklim. Mereka menolak pelibatan yang sekadar simbolik dan seremonial, menuntut ruang yang lebih strategis, inklusif, dan bermakna agar suara generasi muda benar-benar diakui dalam kebijakan publik.

Desakan itu mencuat dalam diskusi publik bertajuk “Generasi Z Menagih Tanggung Jawab Iklim” yang digelar pada 5 November 2025. Kegiatan ini merupakan bagian dari rangkaian Diskusi Dua-Mingguan Nexus Tiga Krisis Planet yang diinisiasi oleh Justice Coalition for Our Planet (JustCOP) dan disiarkan secara daring oleh KBR.

Diskusi menghadirkan Dinah Rida dari KATA Indonesia, mewakili perspektif anak muda di wilayah perkotaan, serta Elsy Grazia dari Yayasan Pikul di Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), yang membawa suara dari kawasan timur Indonesia.

Pelibatan Nyata, Bukan Sekadar Formalitas

“Anak muda punya otoritas untuk menentukan arah kebijakan terkait krisis iklim,” tegas Dinah Rida.

Ia menyoroti bahwa selama ini akuntabilitas pemerintah dalam pendanaan dan pelaksanaan kebijakan iklim masih minim, membuat banyak anak muda tidak mendapatkan informasi yang inklusif dan transparan.

Dinah juga mengkritisi kebiasaan pemerintah yang menyamaratakan dampak krisis iklim di seluruh wilayah. Padahal, kata dia, “Apa yang dihadapi anak muda di kota jelas berbeda dengan teman-teman di pelosok.”

Suara dari Timur: Ketimpangan dan Hilangnya Kearifan Lokal

Dari sisi lain Indonesia, Elsy Grazia mengungkapkan bagaimana anak muda di daerah terpencil sering kali tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan.

“Suara kami di timur sering tak terdengar, padahal kami yang paling merasakan dampak langsung krisis iklim,” ujarnya.

Elsy mencontohkan bencana Siklon Seroja pada April 2021 yang meluluhlantakkan wilayah NTT. Badai berkekuatan 100 km/jam itu tidak hanya menimbulkan banjir dan kerusakan fisik, tetapi juga mengancam keberlanjutan budaya lokal.

“Tanaman lokal yang jadi sumber pangan dan bahan rumah adat ikut musnah. Kalau terus terjadi, generasi muda bisa kehilangan bahasa dan kearifan lokalnya,” tutur Elsy.

Di Pulau Timor, banyak petani dan nelayan muda kehilangan mata pencaharian akibat cuaca ekstrem. Mereka terpaksa berpindah pekerjaan tanpa keterampilan yang memadai — situasi yang memperdalam kemiskinan struktural di daerah.

Kritik atas Proyek Iklim yang Tak Transparan

Elsy juga menyoroti kebijakan pemerintah yang tetap meloloskan proyek besar tanpa konsultasi dengan warga lokal, seperti proyek geotermal di Poco Leok, Pulau Flores, yang memicu penolakan masyarakat.

“Pemerintah perlu mengkaji ulang proyek-proyek yang merampas ruang hidup dan mengancam sumber daya warga. Libatkan anak muda dan kelompok rentan secara nyata, bukan hanya dalam forum formalitas,” tegasnya.

Bagi Elsy, mendengarkan anak muda berarti membuka ruang dialog yang sejajar hingga ke tingkat kampung. “Keadilan iklim tak bisa lahir tanpa keadilan sosial,” pungkasnya.

Justice Coalition for Our Planet (JustCOP) atau Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Iklim adalah jaringan masyarakat sipil yang memperjuangkan tata kelola iklim berbasis hak dan demokratis, dengan menempatkan komunitas terdampak sebagai aktor utama perubahan.

Editor : Farida Denura

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

Green Economy Insight Terbaru