Loading
Para delegasi mendengarkan pidato pembukaan Menteri Kehutanan, Perikanan, dan Lingkungan Hidup Afrika Selatan, Dion George (di podium), pada pertemuan Kelompok Kerja Keberlanjutan Lingkungan dan Iklim (ECSWG) G20 di Cape Town, Afrika Selatan, 13 Oktober 2025. ANTARA/Xinhua/Shakirah Thebus.
CAPE TOWN, ARAHKITA.COM — Dunia kembali diingatkan bahwa waktu untuk menunda aksi iklim sudah habis. Dalam pertemuan Tingkat Menteri Kelompok Kerja Lingkungan dan Keberlanjutan Iklim (ECSWG) G20 yang digelar di Cape Town, Afrika Selatan, Kamis (16/10/2025), para pemimpin menyerukan langkah nyata untuk menutup kesenjangan pendanaan iklim yang terus melebar.
Pertemuan dua hari ini menjadi momen penting, bertepatan dengan satu dekade sejak diadopsinya Perjanjian Paris—tonggak global dalam upaya menekan laju perubahan iklim.
Menteri Kehutanan, Perikanan, dan Lingkungan Hidup Afrika Selatan, Dion George, menegaskan bahwa dunia kini menghadapi tiga krisis planet sekaligus: perubahan iklim, hilangnya keanekaragaman hayati, dan polusi.
“Urgensi untuk bertindak tegas dan sinergis belum pernah semendesak ini. Kita perlu memperkuat kerja sama multilateral, mendorong inovasi, dan beralih dari sekadar komitmen menuju implementasi,” ujar George.
Menurutnya, kesenjangan pembiayaan global untuk pembangunan berkelanjutan kini mencapai 4 triliun dolar AS, naik tajam dari 2,5 triliun dolar sebelumnya. Sumber daya publik, kata dia, tak akan cukup untuk menutup celah sebesar itu.
“Kita membutuhkan peran modal swasta, instrumen pembiayaan campuran, dan kemitraan strategis yang mampu mengurangi risiko investasi hijau serta mempercepat inovasi di negara-negara berkembang,” tegasnya.
George menambahkan, kepresidenan G20 Afrika Selatan tahun ini berfokus untuk menjembatani perekonomian maju dan berkembang, mendorong pertumbuhan inklusif, serta memastikan transisi energi yang adil dan berkelanjutan sesuai semangat Perjanjian Paris.
Sementara itu, Joanna MacGregor, Kepala Strategi dan Urusan PBB di Sekretariat Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim, menyebut Perjanjian Paris sebagai “instrumen terkuat yang pernah dibangun umat manusia untuk menghadapi krisis iklim.” Ia menyoroti kemajuan sejumlah negara dalam investasi energi bersih: India, China, dan Uni Eropa menjadi motor utama, sementara Brasil dan Indonesia tampil menonjol dalam pemulihan hutan.
Afrika Selatan dan Arab Saudi pun disebut terus mempercepat transisi menuju energi bersih, meski tantangan pembiayaan dan infrastruktur masih membayangi.
Dari sisi lokal, Menteri Pemerintahan Daerah dan Perencanaan Pembangunan Western Cape, Anton Bredell, mengingatkan bahwa setiap keterlambatan aksi iklim akan memperbesar biaya adaptasi di masa depan.
Sedangkan Perdana Menteri Western Cape, Alan Winde, menyoroti kontras tajam antara meningkatnya pengeluaran militer global dan menyusutnya dana untuk pendanaan iklim.
Menutup sesi, George menekankan bahwa solidaritas dan pendanaan yang kuat adalah kunci untuk mengubah ambisi global menjadi tindakan nyata.“Visi Perjanjian Paris hanya akan hidup bila semua negara bergerak bersama—melalui kerja sama, pendanaan yang adil, dan inovasi yang berkelanjutan,” pungkasnya dikutip Antara.