Rabu, 31 Desember 2025

Indonesia Sulit Capai Target Penurunan Emisi Karbon, Komitmen Iklim Perlu Diperkuat


 Indonesia Sulit Capai Target Penurunan Emisi Karbon, Komitmen Iklim Perlu Diperkuat Pembangkit listrik batubara di Suralaya, Cilegon, Banten, Indonesia (Foto: Greenpeace)

JAKARTA, ARAHKITA.COM – Indonesia menghadapi tantangan besar dalam menurunkan emisi karbon. Koalisi masyarakat sipil yang tergabung dalam Just Coalition for Our Planet (JustCOP) menyoroti risiko mundurnya target emisi sektor energi Indonesia. Dengan kebijakan saat ini, puncak emisi karbon yang semula diprediksi terjadi pada 2030, diperkirakan baru akan tercapai 2037.

Setiap negara seharusnya memetakan puncak emisi karbon sebelum menurun agar pemanasan global tidak mencapai tingkat berbahaya. Namun, kondisi Indonesia justru menunjukkan tren sebaliknya.

“Puncak tertinggi emisi sektor energi Indonesia ditargetkan mundur tujuh tahun dari proyeksi dalam strategi jangka panjang rendah karbon hingga 2050,” ujar Syaharani, Kepala Divisi Iklim dan Dekarbonisasi, Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), saat diskusi daring Dua-Mingguan Nexus Tiga Krisis Planet di Jakarta (14/10/25).

Diskusi tersebut juga dihadiri Tri Purnajaya dari Kementerian Luar Negeri dan Torry Kuswardono, Koordinator Sekretariat Aliansi Rakyat untuk Keadilan Iklim.

Produksi Listrik Masih Bergantung Energi Fosil

Kemunduran target ini merujuk pada Rencana Ketenagalistrikan Nasional (RUKN 2024-2060), yang memperkirakan lonjakan produksi listrik dari PLTU mencapai puncaknya pada 2037. Selain itu, Kebijakan Energi Nasional (KEN) mencatat 79% bauran energi pada 2030 masih berasal dari energi fosil.

Syaharani menegaskan, dengan skenario Business as Usual (BAU), emisi Indonesia pada 2030 justru akan meningkat 148% dibanding 2010. Dokumen ENDC yang ada pun belum menetapkan target pensiun dini pembangkit listrik batubara, yang masih mendominasi penyediaan listrik industri.

“Jika target ENDC 2022 terpenuhi, Indonesia tetap akan menghasilkan emisi signifikan yang melampaui batas kenaikan suhu 1,5°C dari masa pra-industri,” tambah Syaharani.

Dorongan untuk SNDC yang Lebih Ambisius

Menjelang COP30 November 2025, Indonesia belum menyerahkan dokumen Second Nationally Determined Contribution (SNDC), melewati tenggat September 2025. Tri Purnajaya optimis dokumen akan segera diserahkan, namun ia mengingatkan agar publik realistis mengingat pertumbuhan ekonomi tetap menjadi prioritas pemerintah.

Sementara itu, Torry Kuswardono menekankan bahwa kebijakan iklim harus berpihak pada masyarakat. Mitigasi perubahan iklim tidak boleh melemahkan kemampuan masyarakat beradaptasi. Pemerintah perlu melindungi hak atas tanah melalui pengakuan tanah adat, reforma agraria, dan perlindungan sosial adaptif bagi warga rentan, termasuk disabilitas, buruh, dan pekerja informal.

Torry menyoroti persoalan konflik lahan akibat proyek hilirisasi nikel di Maluku Utara dan Sulawesi Tengah, serta lemahnya partisipasi publik dalam pengambilan kebijakan iklim. Ia menekankan, pemerintah sebaiknya fokus pada proyek mitigasi dan adaptasi kecil tapi masif dan inklusif, karena komunitas lokal lebih memahami kebutuhan mereka dibanding proyek besar yang merusak hutan dan biodiversitas.

“Kebijakan iklim yang efektif bukan hanya soal angka emisi, tetapi juga keadilan sosial dan perlindungan komunitas lokal,” kata Torry.

Editor : Farida Denura

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

Green Economy Insight Terbaru