Loading
Dari Istana Kepresidenan Beirut, Paus Leo XIV berbicara di hadapan otoritas sipil, tokoh masyarakat, dan korps diplomatik—pidato pertama yang menjadi penanda penting kunjungannya ke tanah yang sarat kisah peradaban ini. (Foto: Vatican Media)
GLOBAL HARMONY | INTER FIDEI
VATICAN CITY, ARAHKITA.COM - Dalam perjalanan pulang ke Roma setelah kunjungannya yang penuh simbol ke Lebanon, Paus Leo XIV menyampaikan pesan kuat yang menantang narasi ketakutan yang masih hidup di sebagian masyarakat Barat. Di hadapan para jurnalis, ia menyatakan dengan tegas: Islam bukan ancaman bagi kekristenan, dan masa depan dunia akan sangat ditentukan oleh kemampuan manusia untuk membangun dialog antariman yang tulus.
Pernyataan tersebut bukan hanya menyasar Eropa, tetapi juga relevan bagi negara-negara majemuk seperti Indonesia—di mana keberagaman agama menjadi fondasi kehidupan berbangsa.
Mengikis Narasi Ketakutan di Barat
Menjawab pertanyaan soal kekhawatiran sebagian komunitas Katolik Eropa terhadap kehadiran Muslim, Paus Leo XIV memberikan respons langsung dan terbuka. Menurutnya, banyak ketakutan yang beredar sebenarnya dibangun dari sentimen anti-imigran, bukan dari ajaran agama itu sendiri.
Ia menyampaikan bahwa dalam berbagai dialog dengan pemimpin dan masyarakat Muslim, tema yang selalu muncul justru adalah perdamaian, saling menghargai, dan kerja sama antarkomunitas.
Paus menilai sebagian ketakutan di Eropa sering “diproduksi” oleh aktor politik yang menolak keberagaman. Sentimen tersebut, kata Paus, telah memperlebar jarak sosial dan menghambat upaya membangun dunia yang saling menghormati.
Lebanon, Contoh Hidup Kerukunan
Paus Leo XIV menempatkan Lebanon sebagai negara yang memberikan teladan penting bagi dunia. Meski sempat dilanda konflik dan ketegangan politik, negeri ini tetap menjadi salah satu ruang di mana komunitas Muslim dan Kristen hidup berdampingan dengan kedudukan yang dihormati.
“Lebanon menunjukkan bahwa Islam dan Kristen tidak hanya bisa hidup bersama, tetapi dapat membangun persahabatan sejati,” tutur Paus.
Ia juga mengingat kisah-kisah warga dari kedua komunitas yang saling membantu membangun kembali kampung mereka pascaperang. Bagi Paus, kisah ini adalah undangan bagi dunia—khususnya Eropa dan Amerika Utara—untuk berani meninggalkan rasa takut dan membuka ruang dialog.
Peran Sunyi Vatikan dalam Misi Perdamaian
Selain bicara soal relasi antaragama, Paus Leo XIV menyinggung kerja-kerja diplomasi Vatikan dalam berbagai konflik, mulai dari situasi di perbatasan Israel–Lebanon, perang di Ukraina, hingga dinamika politik di Venezuela.
Ia menekankan bahwa Takhta Suci bekerja “di balik layar” untuk mendorong pihak-pihak yang bertikai agar mengambil jalan damai. Khusus mengenai Ukraina, Paus menyebut negara-negara Eropa—termasuk Italia—memiliki modal budaya dan sejarah untuk berperan sebagai penengah.
Menyerahkan Kepemimpinan pada Tuhan
Dalam percakapan yang lebih personal, Paus Leo XIV membagikan refleksi tentang kepemimpinannya. Ia mengakui pernah mempertimbangkan pensiun satu hingga dua tahun lalu. Namun, ia memilih untuk berserah pada kehendak Tuhan, terinspirasi oleh spiritualitas “The Practice of the Presence of God”.
Saat terpilih, ia hanya menarik napas dalam dan berkata, “Tuhan, Engkau yang memegang kendali.”
Relevansinya bagi Indonesia
Fokus Paus pada dialog dengan dunia Muslim sejalan dengan rencananya mengunjungi Aljazair untuk menapaki jejak Santo Agustinus. Agenda ini menegaskan komitmen kepausan terhadap pembangunan jembatan lintas agama.
Bagi Indonesia, pesan Paus Leo XIV menemukan gaungnya. Di tengah tantangan polarisasi global dan budaya digital yang sering memisahkan manusia, Paus mengingatkan bahwa perjumpaan antarmanusia—langsung dan tulus—adalah fondasi bagi masa depan harmoni.
Semboyannya, “In the one we are one,” sangat sejalan dengan visi Indonesia: Bhinneka Tunggal Ika. Perbedaan bukan alasan untuk menjauh, tetapi peluang untuk memperkuat kemanusiaan bersama dilansir dari laman Vatican News.
Konteks: Mengapa Lebanon Jadi Rujukan Paus Leo XIV?
Untuk memahami urgensi pesan Paus, berikut gambaran demografis dua negara dengan keragaman besar:
Indikator Lebanon (Estimasi) Indonesia (Sensus 2010/BPS)
Mayoritas Agama Muslim (67,8%) Muslim (87,2%) Populasi Kristen (32,4%) 9,9% (Protestan & Katolik)
Model Kenegaraan Confessionalism (Pembagian Pancasila (negara kesatuan berasaskan Ketuhanan YME)
kekuasaan berdasar sekte)
Model kohabitasi dan kesetaraan yang relatif terjaga di Lebanon, menurut Paus, dapat menjadi blueprint untuk meneguhkan relasi Muslim–Kristen di berbagai belahan dunia—terutama dalam melawan Islamofobia yang masih mengakar di Barat.