Rabu, 31 Desember 2025

Menyibak Hakekat Keadilan dan Perdamaian


 Menyibak Hakekat Keadilan dan Perdamaian Aktivis sosial dan budaya, Simply da Flores . (Foto: Istimewa)

GLOBAL HARMONY – VOICES OF PEACE

Oleh: Simply da Flores

DALAM setiap zaman, kisah tentang keadilan dan perdamaian selalu hadir dan berulang—baik di catatan sejarah, di media sosial masa kini, maupun dalam pengalaman hidup yang paling pribadi. Dua kata ini, adil dan damai, mungkin terdengar sederhana, tapi maknanya begitu dalam dan luas.

Pertanyaannya, masih mungkinkah kita menemukan keadilan dan perdamaian sejati di tengah dunia yang terus berubah ini? Siapa yang seharusnya bertanggung jawab untuk mewujudkannya—pemerintah, tokoh agama, atau kita sendiri?

Arti Damai dan Adil dalam Hidup Manusia

Damai bukan sekadar tidak adanya konflik. Ia adalah kebutuhan dasar manusia—seperti udara bagi paru-paru dan air bagi kehidupan. Damai berarti tenangnya hati, jernihnya pikiran, serta seimbangnya hubungan antara diri sendiri, sesama manusia, alam semesta, dan Sang Pencipta.

Sementara itu, adil bukan hanya tentang hukum dan peraturan. Keadilan sejati lahir dari kesadaran bahwa setiap orang memiliki hak dan kewajiban yang sama. Ia tumbuh saat kita rela menghormati hak orang lain sebagaimana kita menjaga hak sendiri.

Dengan kata lain, keadilan dan perdamaian tidak bisa “diberikan” oleh pihak luar. Ia harus diciptakan dari dalam diri setiap manusia—melalui kesadaran, empati, dan tindakan nyata dalam kehidupan sehari-hari.

Keadilan dan Perdamaian: Kebutuhan Asasi Umat Manusia

Setiap orang membutuhkan rasa aman dan dihargai. Namun, faktanya, realitas kehidupan sering kali memperlihatkan sebaliknya. Masih banyak ketimpangan ekonomi, diskriminasi sosial, pelanggaran HAM, hingga kerusakan alam yang disebabkan oleh keserakahan manusia.

Perbedaan latar belakang, keyakinan, budaya, dan kepentingan sering menjadi sumber gesekan. Padahal, justru perbedaan itulah yang seharusnya dirayakan. Karena di balik keberagaman, ada peluang untuk saling belajar dan memperkaya kehidupan bersama.

Sayangnya, di berbagai belahan dunia, perang dan kekerasan masih terjadi. Pertanyaannya: apakah kita kurang diajarkan tentang kemanusiaan, atau justru kita belum benar-benar menghayatinya?

Ketika Kepentingan Beradu dan Nurani Terluka

Dalam kehidupan global saat ini, banyak pihak yang memiliki pengaruh besar: pemerintah, lembaga internasional, pemilik modal, tokoh agama, dan masyarakat adat. Idealnya, mereka bisa bekerja sama untuk menciptakan dunia yang lebih adil. Namun realitasnya, kepentingan sering kali berbenturan—terutama dalam urusan ekonomi, politik, dan kekuasaan.

Ketika konflik muncul, yang paling menderita adalah rakyat kecil. Mereka tidak punya akses terhadap kekuasaan atau sumber daya alam. Mereka hanya bisa berharap agar suara keadilan tak sekadar menjadi slogan.

Jeritan itu nyata—dari tanah yang dirampas, dari anak-anak yang kehilangan rumah karena perang, hingga dari petani yang tak lagi punya lahan. Pertanyaan yang menggema di hati banyak orang: di mana letak keadilan, dan kapan perdamaian sungguh akan datang?

Menemukan Damai, Memulai dari Diri Sendiri

Keadilan dan perdamaian bukan cita-cita utopis. Ia bisa dimulai dari hal kecil: menahan amarah, mendengarkan dengan empati, menghargai perbedaan, dan peduli pada sesama.

Jika setiap individu sadar bahwa damai dan adil adalah tanggung jawab bersama, maka harapan untuk dunia yang lebih manusiawi bukan sekadar utopia—melainkan sesuatu yang sungguh bisa kita ciptakan.

Maka, sebelum berharap pada dunia luar, mari bertanya: sudahkah kita sendiri menjadi sumber damai bagi orang lain?

Penulis adalah Aktivis Sosial dan Budaya. Tinggal di Jakarta.

 

Editor : Farida Denura

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

Global Harmony Terbaru