Selasa, 30 Desember 2025

World Peace Forum ke-9: Menyatukan Wasatiyyat Islam dan Kebijaksanaan Tionghoa untuk Perdamaian Global


 World Peace Forum ke-9: Menyatukan Wasatiyyat Islam dan Kebijaksanaan Tionghoa untuk Perdamaian Global Ketua Center for Dialogue and Cooperation among Civilizations ​​​​​​​(CDCC) Prof. Din Syamsuddin dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (6/11/2025). (ANTARA/M Riezko Bima Elko Prasetyo)

GLOBAL HARMONY | INTER FIDEI

JAKARTA, ARAHKITA.COM – Dunia tengah menghadapi krisis ekstremitas global—ketimpangan ekonomi, dominasi politik, hingga gesekan budaya yang kian tajam. Dalam situasi seperti ini, Ketua Center for Dialogue and Cooperation among Civilizations (CDCC) Prof. Din Syamsuddin menegaskan pentingnya menemukan “jalan tengah” sebagai solusi moral bagi tatanan dunia yang lebih berimbang dan damai.

Gagasan ini menjadi dasar pelaksanaan World Peace Forum (WPF) ke-9 yang digelar di Jakarta pada 9–11 November 2025, mengusung tema “Considering Wasatiyyat Islam and Tiong Hua for Global Collaboration” atau “Mempertimbangkan Wasatiyyat Islam dan Tionghoa untuk Kolaborasi Global.”

Jalan Tengah untuk Dunia yang Terpecah

Menurut Din Syamsuddin, ekstremitas global muncul ketika satu kekuatan—baik ekonomi, politik, maupun budaya—mendominasi kehidupan umat manusia. “Dunia saat ini terjebak dalam ekstremitas. Oleh karena itu, wasatiyyat atau jalan tengah menjadi tawaran moral bagi tatanan global yang lebih berimbang,” ujarnya dalam konferensi pers di Jakarta.

Konsep Wasatiyyat Islam, yang menekankan keadilan, keseimbangan, dan moderasi, dipandang sejalan dengan nilai-nilai kebijaksanaan Tionghoa yang menjunjung harmoni dan kemanusiaan. Kedua nilai tersebut, menurut Din, memiliki akar yang sama: mencari keseimbangan di tengah perbedaan.

“Saya mendapat penjelasan dari tokoh Tionghoa di Malaysia, dan ternyata nilai-nilai Tionghoa hampir sama dengan Wasatiyyat Islam. Keduanya menempatkan harmoni dan keseimbangan sebagai dasar kehidupan,” ujarnya.

Wadah Moral bagi Para Peacemaker Dunia

WPF ke-9 diselenggarakan oleh CDCC bekerja sama dengan Cheng Ho Multi Culture Education Trust, dan dihadiri lebih dari 300 tokoh lintas agama, bangsa, dan profesi. Di antara tamu kehormatan yang hadir ialah Presiden ke-4 Republik Kosovo Madame Atifete Jahjaga, Perdana Menteri ke-62 Jepang Yoshihiko Noda, serta Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 RI Jusuf Kalla.

Din menegaskan, forum ini bukan lembaga politik, melainkan wadah moral (moral forum) untuk mempertemukan para pencinta perdamaian lintas peradaban. “WPF sejak awal berdiri menjadi tempat bagi para peacemaker dunia untuk berdialog dan mencari nilai universal bagi perdamaian,” katanya.

Isu-isu kemanusiaan global, termasuk konflik di Palestina dan Gaza, krisis Sudan, hingga ketegangan geopolitik di berbagai kawasan, menjadi perhatian utama. Meski tidak dibahas secara spesifik, Din menekankan bahwa WPF selalu berpihak pada nilai perdamaian universal.

“Forum ini menawarkan narasi bersama—pikiran dan gagasan yang bisa dimiliki semua pihak demi menciptakan perdamaian dunia,” ujarnya dikutip Antara.

Kolaborasi Global dan Peran Indonesia

WPF ke-9 juga menjadi ajang bagi Indonesia untuk menunjukkan peran sebagai bangsa penengah. Din Syamsuddin berharap forum ini mampu menghidupkan kembali semangat Indonesia sebagai negara yang menjembatani dialog lintas peradaban.

“Kita ingin Indonesia kembali memainkan peran penting sebagai bangsa penengah, bangsa yang membawa semangat perdamaian dan keseimbangan dunia,” tegasnya.

Selain dialog utama, forum ini juga menghadirkan Global Forum for Muslim Women (GFMW) untuk pertama kalinya—sebuah inisiatif yang menampilkan kontribusi dan kepemimpinan perempuan dalam menciptakan perdamaian global.

Sejauh ini, tercatat 70 peserta internasional dari berbagai negara dan 100 peserta nasional telah mengonfirmasi kehadirannya. Forum akan diisi dengan sesi pleno, diskusi tematik, dan jamuan resmi bersama pejabat Indonesia.

Dari Wasatiyyat hingga Harmoni Dunia

Tema besar WPF tahun ini menegaskan bahwa jalan menuju perdamaian global tidak bisa hanya ditempuh lewat kekuatan politik atau ekonomi, tetapi juga melalui nilai-nilai kebijaksanaan dan spiritualitas.

Wasatiyyat Islam dan kebijaksanaan Tionghoa menjadi dua cermin yang saling melengkapi: sama-sama menolak ekstremitas, sama-sama meneguhkan harmoni. Dari Jakarta, pesan moral ini diharapkan bergema ke seluruh dunia—bahwa perdamaian bukan sekadar cita-cita, melainkan komitmen bersama umat manusia.

Editor : Farida Denura

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

Global Harmony Terbaru