Loading
Maurianus F. W. da Cunha, Rohaniwan yang melayani di Keuskupan Bolzano, Italia. (Foto: Dok. Pribadi)
GLOBAL HARMONY | VOICES OF PEACE
Oleh: Maurianus F. W. da Cunha
DI ZAMAN ketika teknologi menembus batas ruang dan waktu, manusia justru kian terpecah oleh ideologi, agama, dan algoritma. Paradoks ini menampar kesadaran kita: bahwa semakin canggih alat komunikasi, semakin sulit pula kita benar-benar saling memahami. Padahal, menjaga perdamaian tidak lain adalah kewajiban moral manusia untuk mampu berbicara lintas perbedaan.
Baca juga:
World Peace Forum 2025: Jusuf Kalla dan Din Syamsuddin Serukan Spirit Damai dari Jakarta untuk DuniaSayangnya, komunikasi modern sering kali melahirkan lebih banyak kebencian ketimbang empati. Kita menyingkat kompleksitas hidup menjadi slogan, menyederhanakan manusia menjadi label, dan mengubah identitas menjadi benteng konflik. Maka, manusia perlu kembali pada tiga prinsip abadi: dialog, empati, dan kolaborasi — nilai-nilai yang menjaga keseimbangan moral dan sosial dalam kehidupan bersama.
Sebagaimana dikatakan Jürgen Habermas (1984), komunikasi sejati adalah komunikasi yang bertujuan untuk memahami bersama, bukan memenangkan argumen. Dan mungkin di situlah letak tugas besar kita hari ini: menghidupkan kembali semangat kemanusiaan melalui bahasa yang menyatukan, bukan memisahkan.
Baca juga:
World Peace Forum 2025: Jusuf Kalla dan Din Syamsuddin Serukan Spirit Damai dari Jakarta untuk DuniaDialog: Ruang Moral yang Menyembuhkan
Dialog bukan sekadar bertukar kata, tetapi pertemuan moral di mana kita mengakui keberadaan orang lain. Ia mengubah koeksistensi menjadi kolaborasi, dan perbedaan menjadi diskusi. UNESCO dalam Deklarasi Toleransi (1995) bahkan menegaskan bahwa toleransi adalah “rasa hormat terhadap keberagaman dunia.”
Prinsip ini sesungguhnya hidup di akar budaya Indonesia. Dalam tradisi Sikka, dikenal Kula Babong — secara harfiah berarti satu hati, satu suara. Ini bukan sekadar ritual, melainkan praktik sosial di mana masyarakat menyatukan langkah demi kesejahteraan bersama. Kula Babong menegaskan bahwa harmoni lahir bukan dari keseragaman, melainkan dari keberanian untuk mendengar.
Begitu pula dalam budaya Minangkabau, setiap pendapat — bahkan yang saling bertentangan — dihargai sebagai bagian dari pencarian kebenaran bersama. Sementara di Maluku, semangat baku bae menjadi simbol penyembuhan pasca-konflik, ketika masyarakat memilih untuk memperbaiki hubungan, bukan membalas luka.
Tradisi-tradisi ini membuktikan bahwa dialog sejati adalah warisan moral bangsa. Namun, tantangannya kini datang dari dunia digital. Filsuf Korea Byung-Chul Han (2022) mengingatkan bahwa “komunikasi digital menghapus ruang bagi yang lain.” Dalam dunia yang dipenuhi notifikasi dan kemarahan, kemampuan untuk mendengarkan menjadi tindakan radikal.
Empati: Kecerdasan Moral yang Terlupakan
Empati adalah jembatan antara hati dan pikiran, fondasi di mana dialog menemukan maknanya. Ia bukan sekadar rasa kasihan, tetapi kemampuan untuk memahami tanpa kehilangan diri sendiri.
Dalam budaya Indonesia, empati menemukan bentuknya dalam gotong royong — aksi saling membantu yang tidak berhenti pada transaksi. Ketika pandemi COVID-19 melanda, kita menyaksikan bagaimana warga di berbagai daerah bahu-membahu menyediakan makanan, obat, hingga dukungan moral bagi tetangga. Itulah empati yang bergerak: sederhana, tapi menyelamatkan.
Filsuf Martha Nussbaum (2010) menyebut ini sebagai imajinasi welas asih — kemampuan untuk membayangkan penderitaan orang lain dan bertindak karenanya. Dalam skala negara, empati juga seharusnya menjadi landasan kebijakan publik: dari pengungsi hingga korban bencana, dari ketimpangan sosial hingga krisis iklim.
John Rawls (1999) menulis, “Keadilan hanya mungkin jika kita mampu menempatkan diri pada posisi orang lain.” Maka birokrasi yang manusiawi bukan sekadar efisien, melainkan juga empatik.
Kolaborasi: Jalan Menuju Perdamaian yang Hidup
Perdamaian tidak bisa dijaga sendirian. Ia adalah hasil dari kolaborasi — kerja bersama lintas keyakinan, profesi, dan generasi.Rawls menyebutnya sebagai overlapping consensus: perbedaan moral boleh tetap ada, tapi kita bisa sepakat pada prinsip keadilan yang sama. Di Indonesia, semangat kolaborasi ini tampak dalam program lingkungan berbasis komunitas di Nusa Tenggara Timur, seperti yang diakui UNESCO (2003). Ilmu ekologi modern berpadu dengan pengetahuan lokal, membentuk harmoni antara manusia dan alam.
Begitu pula di panggung global, Perjanjian Paris (2015) menjadi bukti kolaborasi moral lintas bangsa: bagaimana negara-negara meninggalkan ego demi menjaga keberlangsungan bumi.
Tapi kolaborasi tidak hanya urusan diplomasi; ia harus dimulai sejak dini. Dunia pendidikan, seperti digariskan UNESCO (2015), perlu menjadi laboratorium perdamaian. Melalui Profil Pelajar Pancasila, sekolah di Indonesia sejatinya sedang membentuk generasi yang peka terhadap keberagaman dan terbiasa bekerja sama untuk kebaikan bersama.
Menjaga Bahasa Kemanusiaan
Dunia hari ini sedang kehilangan bahasa moralnya. Namun dari Kula Babong di Sikka, baku bae di Maluku, hingga musyawarah di Minangkabau, kita diingatkan bahwa perdamaian bukanlah ide abstrak — melainkan kebiasaan yang diwariskan.
Teknologi boleh berkembang, tetapi “teknologi perdamaian” yang paling kuat tetaplah manusia itu sendiri: telinga yang mau mendengar, hati yang mau memahami, dan tangan yang mau bekerja bersama.
Habermas (1984) mengingatkan bahwa hanya komunikasi yang bertujuan untuk saling memahami yang bisa menjaga komunitas moral. Dan mungkin, di tengah dunia yang gaduh, itu adalah bentuk doa paling nyata bagi kemanusiaan kita.
✍️ Maurianus F. W. da Cunha, Rohaniwan yang melayani di Keuskupan Bolzano, Italia.