Selasa, 30 Desember 2025

Perdamaian yang Berani: Suara Lintas Iman dari Roma Menyerukan Akhir Era Kekerasan


 Perdamaian yang Berani: Suara Lintas Iman dari Roma Menyerukan Akhir Era Kekerasan Andrea Riccardi saat membuka Pertemuan Internasional Komunitas Sant'Egidio di Auditorium Parco della Musica untuk pertemuan internasional

GLOBAL HARMONY | INTER FIDEI

ROMA, ITALIA, ARAHKITA.COM — Dalam semangat Assisi yang mempersatukan lintas iman, ratusan pemimpin agama, intelektual, dan kaum muda dunia berkumpul di Auditorium Parco della Musica, Roma, pada Senin (27/10/2025). Mereka hadir dalam pertemuan internasional Komunitas Sant’Egidio bertajuk “Daring Peace”—sebuah seruan global untuk mengakhiri era kekerasan dan menumbuhkan kembali keberanian untuk berdamai.

Pembukaan acara dipenuhi getaran haru dan pengharapan. Doa lintas agama mengawali pertemuan ini, mengingatkan dunia bahwa damai tidak lahir dari keajaiban, tetapi dari keberanian untuk saling mendengarkan.

“Menciptakan perdamaian bukanlah mukjizat satu hari. Begitu dialog dimulai, kita telah merasakan cita rasa damai. Karena dialog berarti menemukan orang lain sebagai bagian dari diri sendiri,” tutur pendiri Komunitas Sant’Egidio, Andrea Riccardi, dalam sambutan pembukaan.

Riccardi mengajak dunia untuk berani meninggalkan “era kekerasan” dan melangkah menuju “era perjumpaan”—sebuah peradaban baru yang lahir dari saling percaya dan empati lintas batas agama maupun bangsa.

Doa, Harapan, dan Kesaksian yang Menggetarkan

Dalam sesi pembukaan, Presiden Italia Sergio Mattarella menegaskan kembali peran penting komunitas seperti Sant’Egidio dalam mengupayakan perdamaian. “Proses damai membutuhkan ketekunan dan kesabaran,” ujarnya.

Sementara itu, Ratu Mathilde dari Belgia menyoroti peran kaum muda dan perempuan dalam membangun dunia yang lebih damai. “Dialog adalah fondasi peradaban. Kaum muda adalah arsitek masa depan, dan kebijaksanaan perempuan menjadi cahaya yang menuntun arah,” katanya.

Sosiolog terkemuka dunia, Manuel Castells, juga menambahkan bahwa ketakutan adalah emosi yang mudah memecah belah, dan “satu-satunya penawarnya adalah harapan.”

Namun, momen paling menyentuh datang dari Koko Hondo, salah satu penyintas terakhir bom atom Hiroshima. Ia berbagi kisah perjumpaan tak terduga dengan salah satu pilot pesawat pengebom Enola Gay—pria yang dulu ia benci.

“Saat melihatnya menangis, aku berkata, ‘Maafkan aku karena membencimu. Aku sadar, seharusnya aku membenci perang, bukan dirimu,’” ungkapnya, membuat seluruh ruangan terdiam.

Seruan Damai dari Berbagai Iman

Dari dunia Islam, Imam Al Tayyeb menekankan pentingnya memanfaatkan teknologi untuk kebaikan: “Dalam dunia yang terpecah, teknologi harus jadi alat penerang, bukan pemecah.”

Sementara Rabbi Goldschmidt mengingatkan, “Perdamaian tak terwujud lewat teriakan para pejuang, tapi melalui bisikan lembut hati manusia.”

Kardinal Matteo Zuppi menutup sesi dengan kalimat reflektif yang mengundang renungan: “Sejarah sering dihancurkan oleh mereka yang berkuasa, tapi diselamatkan oleh mereka yang rendah hati. Mari kita berani berdamai—dimulai dari diri sendiri.”

Harapan dari Generasi Baru

Forum Daring Peace juga dihadiri oleh ratusan anak muda yang mendaftar untuk diskusi lintas iman dalam beberapa hari ke depan. Semangat mereka menegaskan pesan inti pertemuan ini: perdamaian bukan warisan, melainkan pilihan yang diperbarui setiap hari.

Komunitas Sant’Egidio sekali lagi membuktikan bahwa dialog antariman bukanlah utopia, melainkan jalan nyata menuju dunia yang lebih manusiawi—tempat di mana doa, persahabatan, dan keberanian bisa berjalan beriringan.

 Sumber: Situs web Youth for Peace

Editor : Farida Denura

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

Global Harmony Terbaru