Selasa, 30 Desember 2025

Ketika Air Mengamuk, Aksi Heroik Fendi Menyelamatkan Warga dari Galodo Malalak


 Ketika Air Mengamuk, Aksi Heroik Fendi Menyelamatkan Warga dari Galodo Malalak Fendi, warga Jorong Toboh, Nagari Malalak Timur, Kecamatan Malalak, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, saat diwawancarai (28/11/2025). ANTARA/Fandi Yogari

TIDAK ada yang mempersiapkan Fendi untuk hari ketika kampung halamannya berubah total dalam hitungan menit. Jorong Toboh—sebuah dusun di Malalak Timur yang selama ini identik dengan ketenangan, ladang kulit manis, dan suasana pedesaan yang ramah—mendadak menjadi arena kekacauan ketika galodo datang tanpa peringatan.

Rabu sore, 26 November 2025, sekitar pukul tiga, langit terlihat biasa-biasa saja. Namun dalam sekejap, suara letupan dari arah bukit memecah rutinitas warga. Fendi, yang berada tak jauh dari perkampungan, langsung menoleh. Dari kejauhan, ia melihat sesuatu yang tidak pernah ia bayangkan: gelombang besar berwarna putih—campuran air dan lumpur—meluncur seperti ombak yang kehilangan kendali.

“Dari bukit itu saya lihat air putih bercampur kayu turun kencang,” kenangnya. Nalurinya langsung bekerja. Tanpa berpikir panjang, ia menjerit memanggil warga untuk lari. “Cepat! Lari! Selamatkan diri!” teriaknya berulang-ulang.

Detik-Detik Saat Tanah Tempat Tumbuh Berubah Jadi Lautan Lumpur

Fendi melarikan diri ke titik tertinggi yang ia tahu. Dari sana, ia menyaksikan pemandangan yang sulit dilupakan: hamparan sawah hijau, rumah-rumah kayu, dan suara tawa anak-anak—semua hilang dalam satu sapuan galodo. Yang tersisa hanya lumpur, kayu berserakan, dan suara tangisan meminta tolong.

Rasa takut menghantui, tapi keberanian muncul ketika Fendi mendengar suara warga yang terjebak. Tanpa memikirkan keselamatannya sendiri, ia turun lagi ke arah perkampungan yang porak-poranda.

Saat banjir masih menghantam, ia berhasil mengevakuasi beberapa warga, termasuk dua perempuan yang bobot tubuhnya menyerupai dua kali beratnya. “Entah bagaimana, saya kuat mengangkat dua orang sekaligus. Mungkin karena Tuhan bantu,” ujarnya lirih.

Keberaniannya hari itu seperti membuka kembali kenangan kelam lain yang pernah ia hadapi: likuefaksi Palu pada tahun 2018. Saat itu, ia juga hampir kehilangan nyawanya. Pengalaman itu, katanya, membuatnya lebih siap menghadapi situasi darurat—walau tidak pernah membayangkan kampungnya sendiri akan mengalami bencana serupa.

Ketika Setiap Detik Menjadi Pertaruhan Nyawa

Fendi berhasil menyelamatkan empat hingga lima orang, termasuk ibu mertua yang sudah lanjut usia. Mereka ia bawa ke sebuah pondok kecil yang masih utuh. Namun ada juga warga yang tak bisa ia jangkau. Lumpur setinggi tiga meter membuat tubuhnya tak mampu bergerak lebih jauh.

“Saya ingin membantu, tapi lumpurnya terlalu dalam. Badan tak bisa maju,” ucapnya dengan suara bergetar.

Setelah memastikan orang-orang di pondok aman, ia berlari menuju daerah Tandikek, desa terdekat, untuk mencari pertolongan. Malam itu, hujan masih turun tanpa henti. Listrik padam. Area bencana gelap gulita.

Sekitar pukul 22.00 WIB, Brimob Polda Sumbar tiba. Namun upaya penyelamatan baru benar-benar masif esok paginya.

Pencarian Korban di Tengah Medan yang Tak Ramah

Kamis, 27 November 2025, Basarnas Padang, Brimob, BPBD, PMI, relawan, dan warga mulai menyisir kawasan yang sudah berubah jadi lumpur tebal. Satu per satu jenazah ditemukan. Setiap kantong oranye dibuka, memastikan identitas, sambil memanggil nama anggota keluarga yang hilang.Medan pencarian luar biasa sulit. Lumpur, kayu, bebatuan besar, sisa bangunan yang hancur—semuanya jadi hambatan. Hujan yang tak berhenti membuat ancaman banjir susulan selalu mengintai.

Pada hari kedua, beberapa petugas jatuh bangun membawa jenazah. Namun tak ada yang menyerah. Setelah dievakuasi, jenazah dimandikan, dishalatkan, lalu dikuburkan sesuai adat setempat.W

arga yang masih kehilangan keluarga hanya bisa berdoa, berharap orang yang mereka cari segera ditemukan, entah hidup atau tidak.

Mencari Jawaban di Tengah Puing

Hasbi, Kepala Jorong Toboh, mengaku belum pernah melihat galodo sedahsyat itu. “Biasanya banjir bandang terjadi jauh di atas, tidak sampai ke sini,” ucapnya.

Ia dan warga masih bertanya-tanya: apa yang membuat aliran air kali ini begitu besar? Apakah ada penebangan liar? Atau ada perubahan lain di hulu sungai? Hingga kini, jawabannya belum jelas.

Yang mereka tahu, sebagian besar warga berprofesi sebagai petani kayu kulit manis—pekerjaan turun-temurun di Malalak. Perkampungan itu telah lama hidup berdampingan dengan hutan, ladang, dan bukit.

Ada satu hal yang membuat Hasbi tak bisa berhenti memikirkan kejadian hari itu: galodo yang menerjang dusunnya tiba-tiba terbelah dua saat mendekati masjid. Aliran air menyebar ke kanan-kiri, seolah membentuk jalan baru.

“Saya masih tidak percaya. Banjir terpecah di depan masjid,” ujarnya dilansir Antara.

Luka Besar di Ranah Minang

Data Dashboard Satu Data Bencana Provinsi Sumbar per 6 Januari 2025 mencatat betapa besar dampak bencana hidrometeorologi di provinsi itu:

  • 226 orang meninggal dunia
  • 28 korban belum teridentifikasi
  • 213 masih hilang
  • 112 luka-luka
  • 22.355 mengungsi
  • Ribuan rumah rusak, hanyut, atau terendam

Total kerugian diperkirakan Rp1,7 triliun lebih

Angka itu hanyalah data. Di lapangan, ada cerita-cerita kecil tentang keberanian, kehilangan, dan ketabahan. Salah satunya adalah kisah Fendi—seorang lelaki biasa yang pada hari itu berubah menjadi pelindung bagi banyak nyawa.

Editor : Farida Denura

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

Feature Terbaru