Jumat, 29 Agustus 2025

CSIS: Indonesia Kini Menghadapi Tekanan Cukup Besar dari Dalam Negeri


 CSIS: Indonesia Kini Menghadapi Tekanan Cukup Besar dari Dalam Negeri Direktur Eksekutif Centre for Strategic and International Studies CSIS Yose Rizal Damuri. (Tangkapan Layar)

JAKARTA, ARAHKITA.COM -  Direktur Eksekutif Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Yose Rizal Damuri, menyampaikan pandangannya mengenai kondisi perekonomian Indonesia di tengah perlambatan ekonomi global. Dalam paparannya, Yose menegaskan bahwa penurunan pertumbuhan ekonomi Indonesia bukanlah fenomena tunggal, melainkan dialami juga oleh banyak negara lain. 

"IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya sebesar 4,0%. Namun perlu digarisbawahi bahwa proyeksi yang direvisi ke bawah ini juga terjadi di banyak negara, termasuk Vietnam yang bahkan diperkirakan turun 1,3%" ujar Yose Rizal dalam diskusi publik bertajuk "IMF Memprediksi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia 2025-2026 Hanya 4,7%: Indonesia Bisa Apa?" secara daring melalui Zoom Meeting pada Senin (28/4/2025) yang digelar Universitas Paramadina Jakarta.

Meski demikian, Yose mengingatkan bahwa Indonesia yang kerap disebut sebagai ‘Komodo Dragon’ karena ketangguhan ekonominya, kini menghadapi tekanan yang cukup besar dari dalam negeri. "Kondisi domestik kita tidak baik-baik saja. Kita menghadapi berbagai masalah mulai dari persoalan fiskal, moneter, neraca eksternal, sektor riil, iklim usaha, ketenagakerjaan hingga daya beli masyarakat" jelasnya. 

Lebih jauh, ia mengungkapkan bahwa arah kebijakan ekonomi yang tidak menjanjikan turut memperbesar risiko tersebut. Yose juga menyoroti fenomena melemahnya dolar Amerika Serikat (US Dollar) sejak Januari 2025 terhadap berbagai mata uang dunia. "Ini menjadi sinyal yang perlu diwaspadai karena dapat berdampak pada stabilitas ekonomi kita, terutama di sektor eksternal" tegasnya.

Dalam paparannya, Yose menekankan bahwa ekonomi berbiaya tinggi (high-cost economy) di Indonesia masih menjadi hambatan besar. Salah satu penyebab utamanya adalah tingginya tingkat korupsi yang tidak diimbangi dengan kepastian hukum. "Ketidakpastian diperburuk dengan tumpukan regulasi yang luar biasa banyak dan sering berubah-ubah. Hanya di tingkat kementerian, tercatat hampir 19.000 peraturan, belum lagi di daerah" ujarnya.

Yose kemudian membandingkan pendekatan pembangunan ekonomi Indonesia dengan Tiongkok. "Tiongkok sejak awal membuka diri dan mendorong produktivitas. Sebaliknya, kita sering merasa sudah besar dan malah menutup diri, seperti dalam kebijakan TKDN (Tingkat Komponen Dalam Negeri) yang justru tidak banyak berkontribusi pada sektor industri" katanya.

Sebagai contoh, Yose menyinggung mundurnya LG dari proyek investasi baterai di Indonesia yang nilainya hampir mencapai 10 miliar dolar AS. "Alasan keluarnya adalah ketidakcocokan dengan permintaan Indonesia agar rantai pasok (supply chain) baterai tetap didominasi oleh sektor pertambangan dalam negeri" ujarnya.

Menutup paparannya, Yose Rizal Damuri menekankan pentingnya perubahan paradigma dalam merancang kebijakan ekonomi. "Kita harus mengubah cara pandang dari kebijakan yang terlalu inward looking dan cenderung memberatkan, agar tidak semakin memperburuk kondisi pasar tenaga kerja dan memperlemah perekonomian nasional" tutup Yose.

Gelombang PHK Diperkirakan Jauh Lebih Besar

Direktur Eksekutif Segara Research Institute, Dr. Piter Abdullah, dalam kesempatan tersebut mengungkapkan keprihatinannya terhadap tren penurunan kondisi ekonomi domestik. “Gelombang PHK saat ini merupakan kelanjutan dari fenomena 2024, namun skalanya diperkirakan jauh lebih besar tahun ini" ungkap Piter.

Ia menambahkan, laporan Indeks Ketersediaan Lapangan Kerja Maret 2025 menunjukkan adanya degradasi, terutama pada kelompok masyarakat menengah ke bawah, meski indeks secara keseluruhan masih di zona optimistis. Ia menekankan bahwa menurunnya daya beli adalah konsekuensi logis dari memburuknya kondisi pasar tenaga kerja.

Piter mengkritisi narasi bahwa daya beli masyarakat masih kuat, hanya berdasarkan peningkatan penjualan mobil listrik. “Ini argumen menyesatkan. Penurunan daya beli justru terjadi di mayoritas kelompok menengah ke bawah, sementara kekayaan kelompok atas meningkat sejak pandemi" tegasnya.

Penurunan indeks penjualan riil selama Ramadan dan Idulfitri serta berkurangnya jumlah pemudik mempertegas lemahnya konsumsi domestik.

Menurutnya, rendahnya inflasi inti, yang turun ke kisaran 1%, bukanlah prestasi, melainkan sinyal lemahnya permintaan domestik. “Jika tren ini tidak segera diantisipasi, menjaga bahkan memperbaiki pertumbuhan ekonomi nasional akan menjadi tantangan besar” katanya.

Editor : Farida Denura

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

Ekonomi Terbaru