Loading
Ilustrasi - Kegiatan operasional PT Bukit Asam Tbk (PTBA). ANTARA/HO-PTBA
JAKARTA, ARAHKITA.COM – Setelah hampir dua dekade menikmati "kebebasan" tanpa pungutan ekspor, sektor batu bara Indonesia bersiap menghadapi babak baru. Mulai Januari 2026, pemerintah berencana mengaktifkan kembali kebijakan Bea Keluar (BK) untuk komoditas emas hitam ini. Tak main-main, tambahan kas negara diprediksi bisa mencapai angka fantastis, yakni Rp19 triliun.
Simulasi Angka yang Menggiurkan
Kepala Peneliti NEXT Indonesia Center, Ade Holis, mengungkapkan bahwa langkah ini merupakan respons strategis untuk mengoptimalkan pendapatan dari sumber daya alam. Berdasarkan riset terbaru, ada tiga skenario yang mungkin terjadi pada tahun anggaran 2026 mendatang.
"Dalam skenario optimis, aliran dana ke kas negara bisa menyentuh Rp19 triliun. Sementara untuk skenario moderat di angka Rp15 triliun dan pesimis di Rp11,7 triliun," ujar Ade dalam keterangannya di Jakarta (21/12/2025).
Hitung-hitungan ini menggunakan asumsi tarif moderat sebesar 2,5 persen, sesuai dengan sinyal yang diberikan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa. Menariknya, angka ini baru menghitung batu bara jenis briket (HS 2701) dan belum termasuk lignit. Jika lignit turut dipungut, angka Rp19 triliun tentu hanyalah batas bawah.
Bukan Sekadar Mengincar Cuan
Namun, kebijakan ini bukan sekadar cara pemerintah "mencari uang jajan" tambahan. Ada misi besar di baliknya: Hilirisasi. Selama ini, Indonesia seolah memberikan subsidi terselubung dengan membiarkan batu bara mentah melenggang keluar negeri tanpa bea ekspor sejak tahun 2006.
Dengan adanya Bea Keluar, para pengusaha didorong untuk tidak hanya mengeruk dan menjual tanah air mentah-mentah. "Ini instrumen penting agar batu bara diolah di dalam negeri menjadi bahan baku industri. Manfaat ekonominya akan jauh lebih panjang dibanding sekadar menjual mentah," tambah Ade dikutip Antara.
Menjawab Kekhawatiran Pasar
Tentu saja, rencana ini memicu kekhawatiran pelaku usaha, terutama terkait daya saing di pasar internasional saat harga global sedang fluktuatif. Namun, data International Trade Center (ITC) memberikan angin segar. Sepanjang 2020-2024, harga batu bara Indonesia rata-rata 32,6 persen lebih murah dibanding harga dunia.
Artinya, tambahan beban 2,5 hingga 5 persen sebenarnya tidak akan membuat batu bara kita kehilangan peminat di pasar global. Kuncinya, menurut Ade Holis, adalah fleksibilitas. Pemerintah disarankan menggunakan sistem tarif berjenjang: tarik pajak optimal saat harga tinggi, dan berikan relaksasi saat pasar sedang lesu.
Dengan desain aturan yang adaptif, Bea Keluar 2026 diharapkan menjadi titik balik Indonesia dari sekadar eksportir komoditas menjadi negara dengan struktur energi yang tangguh dan berkelanjutan.